Kamis, 23 April 2009

Muharram dan Egalitarianisme Sosial

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Setiap tanggal 1 Muharram, seluruh ummat Islam menyambut momen bersejarah ini dengan perasaan suka cita bercampur bahagia. Berbagai persiapan dilakukan, agar momen bersejarah ini tidak terlupakan begitu saja tanpa menghasilkan sesuatu yang bermakna dan bernilai dalam konteks kehidupan nyata.
Bulan Muharram adalah hari dimana Nabi Muhammad dan para Sahabatnya melaksanakan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Tujuan hijrah di sini adalah untuk menghindari perpecahan dan ancaman dari orang-orang kafir Quraish yang hendak mengancam keselamatan ummat Islam, terutama Nabi Muhammad sendiri. Hijrah bukan berarti lari dari persoalan yang mengancam, melainkan sebagai bentuk kecintaan Nabi kepada penduduk Mekkah. Di samping itu, Nabi tidak ingin pertumpahan darah selalu terjadi akibat orang Mekkah tidak menerima ajarannya yang bertentangan dengan keyakinan nenek moyang bangsa Arab.
Terlepas dari hal itu, pergantian tahun Baru Islam, tidak sekedar dimaknai sebagai momen menuju sejarah baru, akan tetapi harus dijadikan spirit untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Setiap momen sejarah dalam Islam, semestinya menjadi refleksi kritis untuk memperbaiki diri terhadap tindakan yang kita lakukan pada tahun sebelumnya. Dalam artian, momen tersebut tidak hanya dijadikan kenangan artifisial, namun yang lebih penting adalah bagaimanan membawa pencerahan dan perbaikan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Momentum Muharram, patut dijadikan kesempatan untuk berbenah diri. Berbenah dari segala sifat yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Mulai dari sifat angkuh, sombong, arogan, egois, dzalim, kikir, sampai pada sifat tidak mau peduli pada yang lemah, miskin, terbelakang, dan tergurus dari lingkungan mereka tinggal.

Kesalehan Sosial

Islam mengajarkan kepada kita agar cinta pada sesama, walaupun berbeda agama. Wujud cinta kita dapat diaktualisasikan dalam bentuk bantuan maupun dorongan moril yang bisa memperkuat mental orang-orang miskin. Kesadaran kita pada yang lemah, sangat diharapkan untuk menimalisir kemiskinan yang akut di negeri ini.
Di tengah problem kebangsaan yang menimpa negeri ini, mulai dari krisis keuangan global yang menghantam perekonomian Indonesia, semestinya kita memiliki sikap kepedulian dan kesadaran untuk memberikan sumbangsih pemikiran agar problem yang menimpa bangsa kita dapat diatasi dengan baik. Salah satu bentuk kepedulian itu adalah dengan menumbuhkan kesalehan sosial di antara sesama. Apalagi, kita berada ditengah momentum Muharram yang merupakan manifestasi nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam al-Qur’an.
Menurut Abdul Munir Mulkhan (2005), kesalehan sosial adalah suatu tindakan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas dasar kesadaran pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam kosa kata ”amal saleh”) merupakan implementasi keberimanan, pernyataan atau produk dari iman (percaya kepada Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar. Dengan kata lain, tindakan sosial yang kita lakukan, tidak saja bermanfaat bagi kebahagiaan orang lain, tapi juga kita akan mendapatkan balasan setimpal atas apa yang kita lakukan.
Kesalehan dalam bentuk materi dan dorongan moril merupakan salah satu bentuk kepedulian kita kepada sesama. Ajaran-ajaran keislaman yang kita ketahui, harus diwujudkan dalam bentuk nyata. Begitulah agama kita mengajarkan tentang pentingnya membantu yang lemah dan yang membutuhkan uluran tangan kita. Itulah sebabnya, kepedulian bukan saja berarti memberikan sebagian harta yang kita miliki, lebih daripada itu, kepedulian merupakan bagian dari jihad yang terselubung dalam konteks sosial.
Dalam konteks inilah, Islam selalu mewanti-wanti pada ummatnya agar menghindari tindakan represif kepada ummat yang lain. Sehingga, tak heran kalau Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap harkat kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan mengajarkan kepada kita agar berbelas kasihan pada kaum yang tertindas.

Humanisme Jihad: Cermin Egalitarianisme Sosial
Meminjam istilah Fauzan Shaleh (2006), kita harus berjihad melawan ketidakadilan yang mengkungkung ummat dari keterbelakangan, penindasan, diskriminasi, dan ”exploitation de’l homme par l’homme”. Termasuk jihad dalam konteks ini ialah kesediaan seseorang untuk tidak mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo, tetapi berjuang untuk membela kepentingan orang-orang lemah dan tertindas. Dengan kata lain, sikap keberimanan kita tidak saja dimaknai mempercayai Tuhan semata, melainkan juga kesatuan ummat manusia (the unity of mankind), yang tidak akan terwujud tanpa memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan sifat egalitarianisme sosial.
Pada titik inilah, makna substasial Muharram dapat kita rasakan melalui penghayatan dan refleksi kritis terhadap ajaran agama itu sendiri. Itulah mengapa, Bung Karno selalu mengatakan pentingnya mengobarkan api Islam, bukan abunya. Sebab ia melihat pentingnya esensi sebagai pesan universal dari konsep rahmatal lil a’lamin.
Oleh karenanya, di tengah bangsa yang sedang bergejolak, kita harus terus menerus menekankan betapa pentingnya kesadaran kemanusiaan sebagai timbal balik dari manifestasi ajaran Islam. Harus kita sadari, bahwa Nabi Muhammad memandang Islam sebagai agama humanis. Agama yang selalu menekankan dimensi kemanusiaan atau antroposentrik. Menurut Muhammad Sobari (2006), dalam ”Humanisme Beragama”, fungsi diturunkannya agama adalah demi kemaslahatan ummat manusia. Penegasan ini menurutnya, bukan berarti meninggalkan dimensi teosentrik, tapi teosentrik an-sich akan membuat agama semakin kering nilai dan jauh dari esensi awalnya.
Menyikapi demikian, menumbuhkan semangat keberagaman yang inklusif merupakan bentuk penghargaan terhadap ummat lain. Walaupun Islam sebagai agama inklusif, kita harus tetap menjaga otentitas nilai-nilai keislaman secara teguh dan meyakinkan. Itu artinya, kita mesti memiliki keteguhan iman yang kuat ketika harus bersinggungan dengan keimanan ummat lain di luar Islam.
Bagi ummat Islam, marilah kita tumbuhkan semangat ”keberimanan sosial” di tengah problem kebangsaan dan keagamaan yang dilanda berbagai persoalan. Kita harus tetap optimis, bahwa dalam pergantian tahun Islam ini, kita masih mempunyai kesempatan untuk berbenah diri menatap masa depan kehidupan yang bersifat egaliterianisme, di samping juga harus menjaga kerukunan antar ummat beragama. Selamat Tahun Baru 1430 Hijriah!

Mohammad Takdir Ilahi,
(Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Tidak ada komentar: