Kamis, 16 April 2009

Imaji Iklan dan Politik Pencitraan

Oleh Mohammad Takdir Ilahi
Sebentar lagi, Indonesia akan memilih pemimpin terbaiknya untuk lima tahun ke depan. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2009 demi lancarnya proses demokratisasi di Indonesia. Setelah sekian lama dilanda problem kebangsaan, rakyat Indonesia berharap pada pemimpin baru (new leader) yang mampu mewujudkan cita-cita luhur bangsa ke arah perubahan dan kemajuan yang signifikan.
Harapan terhadap pemimpin baru (new leader), memang sangat dinantikan demi terbangunnya kepemimpinan ideal yang bisa meneruskan estafet kepemimpinan founding fathers kita. Apalagi, pemimpin baru itu, memiliki visi dan misi yang jelas dan mampu melaksanakan janji politiknya.
Terlepas dari hal itu, sebelum Pemilu berlangsung, para elite politik mulai mempersiapkan diri menghadapi derasnya suhu politik yang tidak sehat. Sudah menjadi hal yang lazim, ketika proses kampanye berlangsung, partai politik berupaya mengumpulkan massa demi kesuksesan partai yang diusungnya. Bahkan, sebelum kampanye dilaksanakan, partai politik sudah mempromosikan janji-janji politik yang akan diaspirasikan ketika kampanye berlangsung.
Di sudut-sudut jalan, pertokoan, perkantoran, gedung-gedung pemerintahan, dan di tempat strategis lainnya, kita dapat menemukan nuansa kampanye yang dimanifestasikan melalui spanduk dan baleho yang melambangkan partai politik tertentu. Terdapat ajakan dan rayuan yang mencoba menampilkan segudang harapan bagi rakyat yang memilih partainya.
Ajakan dan rayuan yang ditampilkan melalui spanduk-spanduk merupakan salah satu bentuk iklan politik yang hendak mempromosikan visi dan misi parpolnya, di samping juga mencetuskan harapan-harapan semu yang belum tentu direalisasikan.
Iklan politik yang terdapat di jalan-jalan, merupakan bagian dari kampanye parpol untuk memperoleh dukungan luas dari rakyat. Melalui iklan politik, partai politik berharap banyak akan perhatian masyarakat terhadap masa depan dan kejayaan parpolnya.
Namun demikian, keberadaan iklan politik harus efektif dan etis. Dalam artian, ketika menyampaikan pesan tidak harus memunculkan reaksi pro dan kontra, sehingga bisa merugikan pihak yang lain. Menurut Ketua Umum PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), Haris Thajeb, iklan politik harus memperhatikan etika dalam beriklan dengan tidak menyampaikan pesan-pesan yang merugikan orang lain. Menurutnya, pengiklanan seperti di media massa sangat bertentangan dengan etika periklanan, dan oleh karenanya perlu ada guidance yang menjadi pedoman. (Harian Jogja, 13/ 02/09).
Semakin merebaknya iklan politik akhir-akhir ini, memang bukan hal yang aneh. Bahkan, fenomena tersebut merupakan hal yang wajar, mengingat pertarungan politik pada Pemilu 2009 sudah semakin dekat. Di Yogyakarta, iklan politik yang menampilkan atribut parpol maupun caleg yang diusung, menghiasi di berbagai sudut jalan. Nuansa kampanye di DIY begitu kental dengan menampilkan sosok pemimpin nasional sebagai wahana membangun citra di mata publik.
Berbagai janji politik mulai dirumuskan untuk menarik simpati masyarakat, agar memilih partai politik tertentu sehingga bisa berkibar lebih jauh dalam memperoleh dukungan rakyat. Suara parpol tentu sangat berpengaruh pada tokoh parpol yang diusung dalam Pemilu mendatang, sehingga mau tidak mau perolehan suara harus sesuai dengan target yang dicanangkan.

Politik Pencitraan
Keberadaan iklan politik di berbagai media, tentu memiliki dampak pada citra tokoh pemimpinannya. Inilah yang saya sebut sebagai ”politik pencitraan” atau dalam bahasa yang sederhana berupaya membangun imaji-imaji kosong dalam atribut citra dan tampilan parsial.
Secara kasat mata, partai politik menampilan foto caleg dan janji politiknya yang dihiasi untaian kata “Berjuang Untuk Rakyat Banyak”, Marilah Berpihak Pada Kebenaran”, dan untaian kata yang memikat hati dan simpati pemilihnya.
Secara rasional, kita tahu bahwa foto-foto itu tidak berbeda jauh dengan iklan sampo dan sabun. Mereka hanyalah imaji-imaji yang mengaburkan realitas. Tidak heran, kalau dalam alegori Goa-nya yang terkenal, Platon mengatakan, bahwa imaji bukanlah realitas. Imaji hanyalah bayang-bayang (shadows) dan gambar (eikon) realitas. Dengan demikian, imaji dapat memberikan efek dahsyat bagi yang tidak memahami nilai dan signifikansi imaji tersebut. (Kompas, 20/ 01/09).
Politik pencitraan memang menampilkan segudang harapan dan perubahan. Namun, harapan dan perubahan itu hanyalah utopia belaka yang bersifat imajinatif. Membangun citra itu penting, tapi lebih penting lagi kalau citra itu tidak terbatas pada tampilan semu dan parsial, sehingga bisa mengecoh orang sekitarnya.

Mengenal Latar Belakang
Kita tidak hanya berhenti pada imaji-imaji kosong yang berbentuk simpati lewat untaian kata maupun tampilan foto caleg semata, tetapi kita harus menerobos imaji-imaji itu dalam realitas yang sebenarnya, yakni dengan mengenal latar belakang kehidupannya.
Dalam mengenal latar belakang caleg, terlebih dahulu kita harus mengenal diri kita sendiri. Kenalilah dirimu sendiri. Begitulah maksim Orakel Delphi dasar pencarian kebijakan Socrates, bapak semua pencari kebijakan dalam kebijakan (Platon, Alkibiades, 130 E).
Bila caleg yang kita pilih hanya menebar senyum dan janji-janji politik semu, maka kita harus mempertanyakan realitas kebenaran yang diusungnya. Dengan begitu, kita tidak akan tertipu oleh iklan, slogan, maupun foto-foto simpatik dari para caleg.
Pada titik inilah, politik pencitraan bukan semata-mata membangun citra dan reputasi, melainkan sudah bermuatan politis yang tidak sehat, bahkan bisa menjerumuskan masyarakat pada pilihan yang salah.
Sebagai pemilih pemula, kita harus berhati-hati dengan ajakan maupun rayuan para tim sukses caleg, yang sengaja menggiring kita pada pilihan utopis. Ingatlah bahwa satu suara sangat menentukan terhadap masa depan bangsa ke depan. Jika kita tidak hati-hati, maka nasib bangsa kita menjadi taruhan.
Dimuat di Harian Jogja, 16 Desember 2008

1 komentar:

Mohammad Takdir Ilahi mengatakan...

tulisan bagus banget, sangat akurat dan memiliki analisis yang tajm.