Kamis, 23 April 2009

Membendung ketidakadilan Gender, Meretas Kesadaran Perempuan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Minimnya keterlibatan perempuan dalam ranah publik, menurut saya tidak serta hanya berkutat pada persoalan budaya patriarki yang mendarah daging sampai zaman sekarang. Tetapi, yang paling dominan adalah terkait dengan persoalan wacana gender yang dicetus kaum perempuan sendiri dalam rangka menyuarakan kesetaran, hak-hak, kebebasan, dan keadilan perempuan.
Wacana gender pada gilirannya telah mengkungkung batasan perempuan dalam mengembangkan potensi dan skill-nya yang berkembang. Karena yang ada dalam wacana tersebut, adalah perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan, hingga wacana tentang kesetaran yang kemudian disuarakan.
Dalam konteks ini, gender tidak hanya dipahami sebagai sebuah perbedaan secara biologis, melainkan mewabah pada persoalan perilaku, jenis pekerjaan, sifat-sifat umum laki-laki dan perempuan, dan perbedaan lain yang bukan kodrat alamiah seorang perempuan.
Dalam pandangan saya, ada perbedaan esensial antara yang kodrati dengan yang bukan kodrati (social contruction). Perbedaan perempuan dan laki-laki yang kodrati adalah perbedaan yang diberikan Tuhan, tanpa campur tangan dari manusia sekalipun. Dalam hal ini, perbedaan yang kodrati, hanya yang mencakup perbedaan organ atau anatomi tubuh. Itulah sebabnya, kenapa Nasarudin Umar, memaparkan bahwa secara biologis, ada yang bisa membedakan antara laki-laki dan perempuan, bahwa laki-laki memiliki sperma, penis, dan lain-lain, sedang perempuan memiliki vagina, ovum, dan alat-lat reproduksi. Sedangkan perbedaan lainnya, khusus yang menyangkut peran dan posisi perempuan di masyarakat, melibatkan campur tangan manusia.
Untuk Lebih jelasnya, kita mesti tahu apa itu gender? Sejatinya, kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”. Dalam “Women’n Studies Encylopedia”, dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang beruapa membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Dari konsep gender inilah, melahirkan ketidakadilan gender bagi perempuan secara keseluruhan. Di mana konsep gender di sini, menurut saya memberikan kesenjangan dan ketimpangan bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam ranah publik, karena substansinya dari konsep ini adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik ditinjau dari segi peran, perilaku, pemikiran dan perbedaan lain yang merugikan bagi perempuan.
Sejalan dengan konsep itu, maka ketidakdilan gender bagi perempuan perlu dibendung bahkan kalau bisa dihapus dalam konteks kehidupan sosial. Tak heran, kalau Sinta Situmorang, mencita-citakan agar ketidakadilan gender dibendung dari permukaan.
Pertama, subordinasi. Kita tahu, bahwa subordinasi sangat terkait dengan kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Misalnya ada anggapan, bahwa perempuan emosional dan irasional yang menyebabkan perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.
Kedua, marginalisasi. Marginalisasi ini, sangat terkait dengan pemiskinan perempuanan akibat penggusuran, pembangunan, tafsir agama, dan kebijakan pemerintah.
Ketiga, stereotip. Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya, stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan.
Ketika ketidakadilan gender mampu dibendung dalam konteks kehidupan, maka kesadaran perempuan untuk terjun langsung dalam ranah publik perlu diberdayakan. Kesadaran akan ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakadilan sungguh telah menjadi polemik tersendiri bagi perjuangan kaum perempuan di tanah air. Karena di satu sisi, perempuan dihadapkan pada suatu sistem yang sedemikian lama mengakar dan menjadi budaya paternalistik bagi kaum perempuan.
Meretas kesadaran perempuan dalam ketidakadilan gender, adalah salah satu upaya untuk membangkitkan gerakan-gerakan perempuan yang dapat mengantarkannya menjadi pemimpin di masa depan. Kesadaran di sini, dapat menjadi bekal bagi kaum perempuan untuk meningkatkan potensi dirinya agar bisa berkembang dan diharapkan mampu membangun kepemimpinan yang baik (good leadership) ketika terjun langsung dalam ranah publik.
Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya partisipasi perempuan dalam ranah publik, perlu disadari sebagai bentuk apresiasi positif dari kaum perempuan itu sendiri, seiring dengan adanya jalur penyadaran gender yang sangat terkait dengan posisi dan partisipasi perempuan dalam menuangkan ide-ide briliannya bagi kemajuan masa depan bangsa.
Jalur-jalur penyadaran gender yang diorientasikan pada partisipasi perempuan tidak serta merta akan berhasil kalau sosialisasi akan penyadaran gender tidak berjalan optimal. Ini disadari, karena penyedaran gender bagi perempuan membutuhkan waktu yang agak lama sebagai bagian dari pengenalan akan pembebasan dan pemberdayaan terhadap perempuan yang terkucilkan dalam ranah publik. Untuk itu, penyadaran gender, menjadi hal yang sangat penting untuk membendung ketidakadilan yang mengeksploitasi dan mendiskriminasi keberadaan perempuan, baik dalam ranah publik maupun dalam ranah domistik.
Berbagai problem yang menghantui perempuan di atas, tentu saja tidak bisa lepas dari sindrom ketidakadilan gender yang terus menerus mewarnai perjalanan hidup perempuan. Di sadari atau tidak, perempuan telah terkungkung oleh konsep gender sendiri, yang pada gilirannya berdampak pada ketimpangan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Untuk itulah, saya mempunyai harapan agar ketidakdilan gender terlebih dahulu dibendung hingga kemudian membangkitkan kembali semangat kaum perempuan agar menyadari bahwa dirinya dalam pasungan kaum laki-laki.

Muharram dan Egalitarianisme Sosial

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Setiap tanggal 1 Muharram, seluruh ummat Islam menyambut momen bersejarah ini dengan perasaan suka cita bercampur bahagia. Berbagai persiapan dilakukan, agar momen bersejarah ini tidak terlupakan begitu saja tanpa menghasilkan sesuatu yang bermakna dan bernilai dalam konteks kehidupan nyata.
Bulan Muharram adalah hari dimana Nabi Muhammad dan para Sahabatnya melaksanakan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Tujuan hijrah di sini adalah untuk menghindari perpecahan dan ancaman dari orang-orang kafir Quraish yang hendak mengancam keselamatan ummat Islam, terutama Nabi Muhammad sendiri. Hijrah bukan berarti lari dari persoalan yang mengancam, melainkan sebagai bentuk kecintaan Nabi kepada penduduk Mekkah. Di samping itu, Nabi tidak ingin pertumpahan darah selalu terjadi akibat orang Mekkah tidak menerima ajarannya yang bertentangan dengan keyakinan nenek moyang bangsa Arab.
Terlepas dari hal itu, pergantian tahun Baru Islam, tidak sekedar dimaknai sebagai momen menuju sejarah baru, akan tetapi harus dijadikan spirit untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Setiap momen sejarah dalam Islam, semestinya menjadi refleksi kritis untuk memperbaiki diri terhadap tindakan yang kita lakukan pada tahun sebelumnya. Dalam artian, momen tersebut tidak hanya dijadikan kenangan artifisial, namun yang lebih penting adalah bagaimanan membawa pencerahan dan perbaikan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Momentum Muharram, patut dijadikan kesempatan untuk berbenah diri. Berbenah dari segala sifat yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Mulai dari sifat angkuh, sombong, arogan, egois, dzalim, kikir, sampai pada sifat tidak mau peduli pada yang lemah, miskin, terbelakang, dan tergurus dari lingkungan mereka tinggal.

Kesalehan Sosial

Islam mengajarkan kepada kita agar cinta pada sesama, walaupun berbeda agama. Wujud cinta kita dapat diaktualisasikan dalam bentuk bantuan maupun dorongan moril yang bisa memperkuat mental orang-orang miskin. Kesadaran kita pada yang lemah, sangat diharapkan untuk menimalisir kemiskinan yang akut di negeri ini.
Di tengah problem kebangsaan yang menimpa negeri ini, mulai dari krisis keuangan global yang menghantam perekonomian Indonesia, semestinya kita memiliki sikap kepedulian dan kesadaran untuk memberikan sumbangsih pemikiran agar problem yang menimpa bangsa kita dapat diatasi dengan baik. Salah satu bentuk kepedulian itu adalah dengan menumbuhkan kesalehan sosial di antara sesama. Apalagi, kita berada ditengah momentum Muharram yang merupakan manifestasi nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam al-Qur’an.
Menurut Abdul Munir Mulkhan (2005), kesalehan sosial adalah suatu tindakan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas dasar kesadaran pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam kosa kata ”amal saleh”) merupakan implementasi keberimanan, pernyataan atau produk dari iman (percaya kepada Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar. Dengan kata lain, tindakan sosial yang kita lakukan, tidak saja bermanfaat bagi kebahagiaan orang lain, tapi juga kita akan mendapatkan balasan setimpal atas apa yang kita lakukan.
Kesalehan dalam bentuk materi dan dorongan moril merupakan salah satu bentuk kepedulian kita kepada sesama. Ajaran-ajaran keislaman yang kita ketahui, harus diwujudkan dalam bentuk nyata. Begitulah agama kita mengajarkan tentang pentingnya membantu yang lemah dan yang membutuhkan uluran tangan kita. Itulah sebabnya, kepedulian bukan saja berarti memberikan sebagian harta yang kita miliki, lebih daripada itu, kepedulian merupakan bagian dari jihad yang terselubung dalam konteks sosial.
Dalam konteks inilah, Islam selalu mewanti-wanti pada ummatnya agar menghindari tindakan represif kepada ummat yang lain. Sehingga, tak heran kalau Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap harkat kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan mengajarkan kepada kita agar berbelas kasihan pada kaum yang tertindas.

Humanisme Jihad: Cermin Egalitarianisme Sosial
Meminjam istilah Fauzan Shaleh (2006), kita harus berjihad melawan ketidakadilan yang mengkungkung ummat dari keterbelakangan, penindasan, diskriminasi, dan ”exploitation de’l homme par l’homme”. Termasuk jihad dalam konteks ini ialah kesediaan seseorang untuk tidak mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo, tetapi berjuang untuk membela kepentingan orang-orang lemah dan tertindas. Dengan kata lain, sikap keberimanan kita tidak saja dimaknai mempercayai Tuhan semata, melainkan juga kesatuan ummat manusia (the unity of mankind), yang tidak akan terwujud tanpa memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan sifat egalitarianisme sosial.
Pada titik inilah, makna substasial Muharram dapat kita rasakan melalui penghayatan dan refleksi kritis terhadap ajaran agama itu sendiri. Itulah mengapa, Bung Karno selalu mengatakan pentingnya mengobarkan api Islam, bukan abunya. Sebab ia melihat pentingnya esensi sebagai pesan universal dari konsep rahmatal lil a’lamin.
Oleh karenanya, di tengah bangsa yang sedang bergejolak, kita harus terus menerus menekankan betapa pentingnya kesadaran kemanusiaan sebagai timbal balik dari manifestasi ajaran Islam. Harus kita sadari, bahwa Nabi Muhammad memandang Islam sebagai agama humanis. Agama yang selalu menekankan dimensi kemanusiaan atau antroposentrik. Menurut Muhammad Sobari (2006), dalam ”Humanisme Beragama”, fungsi diturunkannya agama adalah demi kemaslahatan ummat manusia. Penegasan ini menurutnya, bukan berarti meninggalkan dimensi teosentrik, tapi teosentrik an-sich akan membuat agama semakin kering nilai dan jauh dari esensi awalnya.
Menyikapi demikian, menumbuhkan semangat keberagaman yang inklusif merupakan bentuk penghargaan terhadap ummat lain. Walaupun Islam sebagai agama inklusif, kita harus tetap menjaga otentitas nilai-nilai keislaman secara teguh dan meyakinkan. Itu artinya, kita mesti memiliki keteguhan iman yang kuat ketika harus bersinggungan dengan keimanan ummat lain di luar Islam.
Bagi ummat Islam, marilah kita tumbuhkan semangat ”keberimanan sosial” di tengah problem kebangsaan dan keagamaan yang dilanda berbagai persoalan. Kita harus tetap optimis, bahwa dalam pergantian tahun Islam ini, kita masih mempunyai kesempatan untuk berbenah diri menatap masa depan kehidupan yang bersifat egaliterianisme, di samping juga harus menjaga kerukunan antar ummat beragama. Selamat Tahun Baru 1430 Hijriah!

Mohammad Takdir Ilahi,
(Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Rabu, 22 April 2009

Ambivalensi Anggaran Pendidikan 20%

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Kemajuan pembangunan suatu bangsa, tidak bisa lepas dari kualitas pendidikan yang dihasilkan. Jika kualitas pendidikan anak didik tidak mampu diberdayakan dan ditingkatkan ke arah yang lebih menjanjikan, maka harapan untuk menciptakan generasi yang berkualitas hanya akan menjadi utopia belaka. Dengan kata lain, sektor pembangunan pendidikan niscaya menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan pengelola pendidikan dalam rangka mengoptimalkan potensi anak didik yang berkembang.
Memang harus diakui, problem pendidikan selalu menghiasi dinamika kemajuan suatu bangsa. Semisal, sarana dan prasarana, kualitas guru, kurikulum, dan anggaran pendidikan yang berbelit-belit. Problem anggaran pendidikan menjadi isu aktual yang kembali dimunculkan, mengingat realisasi anggaran untuk pendidikan masih belum mencapai target yang dicanangkan. Apalagi, dihadapkan pada persoalan sektor pendidikan yang terabaikan oleh pemerintah.
Jika realisasi anggaran pendidikan masih berbelit-belit, sangat mustahil bagi kita untuk memecahkan problem pendidikan yang akut, semisal pemberantasan buta huruf, maraknya anak putus sekolah, sekolah makin sulit dan mahal. Hal ini bisa kita buktikan, pada tahun 2007, SBY-JK hanya mengalokasikan anggaran sektor pendidikan sebesar Rp 43,489 Triliun. Jumlah itu hanya 11,8% dari total APBN tahun 2007 yang besarnya mencapai 763,6 Triliun. Sedangkan untuk APBN 2008, SBY-JK hanya menjanjikan anggaran pendidikan sebesar 12,3% dari total APBN. (SP/05/07/08).
Hal ini berarti, komitmen SBY-JK dalam sebuah Konferensi Regional UNESCO mengenai “Upaya Pemberantasan Buta Huruf Se-dunia” (Regional Conferences in Support of Global Literacy), di Beijing, China, beberapa waktu yang lalu adalah bohong besar. Berapa juta anak lagi yang akan menjadi korban kebohongan dan ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat miskin, jika anggaran pendidikan yang semestinya direalisasikan ternyata tidak terbukti di lapangan.
Menyadari persoalan itu, mana mungkin kita bisa memecahkan problem pendidikan yang akut, kalau kesempatan untuk mengakses pendidikan bagi semua orang (education for all), terutama untuk orang miskin justru dihambat dengan paket neoliberalisme di sektor pendidikan. Jika memang selama ini, Indonesia selalu mengacu pada konsep ”Pendidikan Untuk Semua” (education for all) yang dicetuskan di Jomtien, Bangkok, Thailand, pada 1990, pemerintah seharusnya bertindak lebih cepat agar pendidikan tak hanya menjadi milik orang-orang berduit.
Mana mungkin juga, kita bisa menciptakan generasi berkualitas dan unggul, jika anggaran untuk pendidikan sangat kecil, dan anggaran negara justru harus dihambur-hamburkan untuk kepentingan membayar utang luar negeri dan menerbitkan surat obligasi untuk melindungi konglomerat hitam seperti dalam kasus BLBI.
Seharusnya, dengan realisasi anggaran pendidikan 20%, rakyat miskin mungkin bisa menjangkau pendidikan secara layak, apalagi ditunjang dengan berbagai bantuan pemerintah, seperti dana BOS. Akan tetapi, persoalan efektifitas dan efesiensi menjadi kendala dalam mendistribusikan anggaran guna menjangkau anak didik.
Berbelit-belitnya anggaran pendidikan, tentu berimplikasi terhadap semakin menjamurnya anak miskin putus sekolah, sehingga menghambat regenerasi dan kaderisasi anak bangsa. Angka putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia empat tahun terakhir masih di atas 1 juta per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar (80%) adalah mereka yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP).
Di lihat secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 sampai 3 persen. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka yang sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolah di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang. (Sumber: Litbang Kompas).

Bukan ”Barang” Komoditi?

Pembiayaan pendidikan yang besar, tidak lebih sebagai ”barang” komoditi. Betapa tidak, pendidikan sebagai barang komoditi, meniscayakan warga membayar biaya pendidikan guna memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Dengan kata lain, pendidikan bagi warga miskin sangat sulit dijangkau, karena terlalu mahal dan mewah.
Pada titik inilah, benar apa yang dikatakan Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Prof. Soedijarto, bahwa konstitusi menyatakan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (walfare state) . Dalam artian, pemerintah Indonesia dibentuk guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Sejauhmana komitmen dan tanggung jawab pemerintah terhadap biaya pendidikan di Tanah Air? Soedijarto, meyakini semangat pendiri negara (the founding fathers) adalah meniru negara kesejahteraan di Eropa yang membiayai kebutuhan pendidikan. Dalam negara kesejahteraan tersebut, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar untuk menggratiskan biaya pendidikan dengan perencanaan dan pelaksanaan yang dinamis dan sistematis.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mungkin negara kita akan membiayai seluruh dana pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, kalau realisasi anggaran pendidikan yang dicanangkan 20% masih belum dirasakan masyarakat. Padahal, kalau kita mengacu pada Pasal 31 Ayat 3 konstitusi menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar. Adapun pemerintah wajib membiayainya.
Peliknya masalah anggaran pendidikan, sejatinya tergantung pada komitmen pemerintah dalam merealisasikan amanat Undang-Undang yang telah direkomendasikan. Jika pemerintah mempunyai komitmen untuk merealisasikan amanat tersebut, maka pencapaian anggaran pendidikan sebesar 20% bisa dioptimalisasikan. Dalam artian, bahwa komitmen menjadi pertaruhan pemerintah untuk menjamin setiap warga negara guna memperoleh pendidikan secara layak. Dengan komitmen tersebut, pemerintah boleh dikatakan berhasil dalam mengagendakan anggaran pendidikan tanpa mengabaikan hak-hak warga negara, sehingga mendapatkan perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang layak.
Dengan demikian, kunci utama pendidikan yang mudah dijangkau rakyat miskin adalah komitmen merealisasikan anggaran pendidikan 20% secara akuntabel, transparan, dan melalui monitoring yang ketat, sehingga tidak mengabaikan sektor pendidikan yang menjadi faktor kemajuan suatu bangsa di seluruh dunia.

Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Diterbitkan Galamedia Bandung, 5 April 2009

Senin, 20 April 2009

Deversifikasi Pangan, Peran Bulog, dan Revitalisasi Kaum Tani*


Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

(Mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)


Pendahuluan
Problem krisis pangan yang menimpa negara-negara berkembang merupakan bagian dari bencana kemanusiaan, yang pada gilirannya menjadi pemicu tingkat kesengsaraan dan kelaparan. Sebagai bencana kemanusiaan, krisis pangan terus menerus menghantui masyarakat di dunia. Bahkan, kemunculannya semakin membuat orang tak berdaya menghadapi sindrom kelaparan, sehingga tidak jarang kematian akibat menipisnya kebutuhan makanan pokok menjadi momok yang menakutkan.
Bencana kemanusiaan yang dihadapi kaum petani, tidak bisa lepas dari proses penyingkiran secara sistematik petani kecil sebagai produsen pangan. Proses peminggiran ini, merupakan akibat kekalahan petani kecil dan konsumen dalam perebutan kebijakan pangan yang memihak pada Perusahaan Transnasional (TNC) bidang Agribisnis.
Menurut Isabelle Delforge (2003), dalam "Dusta Industri Pangan", kekalahan petani kecil tersebut terjadi di berbagai sektor dan tingkatan. Sesungguhnya, bencana tersebut telah terjadi sejak peradaban manusia menerima keyakinan dan mitos bahwa "efficiency" sebagai satu-satunya prinsip dasar yang niscaya dipergunakan dalam pengelolaan lingkungan alam, ekonomi, dan hutan.
Apa yang dipaparkan Delforge di atas, secara tidak langsung telah menegaskan bahwa kaum tani selalu terpinggirkan akibat kebijakan-kebijakan yang menyudutkan, sehingga kaum tani semakin termarginalkan. Apalagi, ditambah dengan semakin gencarnya gerakan globalisasi dan liberalisasi perdagangan pangan yang dilandasakan pada kebijakan neoliberalisme. Maka, kesengsaraan petani pun akan terus menerus menjadi dilema bagi pembangunan nasional ke depan.


Kelaparan Akut: Sindrom Ketahanan Pangan
Dari cacatan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), jumlah penduduk bumi yang mengalami kelaparan akut pada tahun ini berkisar pada angka 40 juta orang. Dengan demikian, total penduduk dunia yang kelaparan menjadi 963 juta orang dari sekitar 6,5 miliar penduduk dunia saat ini. Sungguh angka yang sangat tinggi, namun inilah fakta yang harus kita terima akibat bencana kemanusiaan ini (krisis pangan). (Kompas, 10 Desember 2008).
Itulah sebabnya, Direktur Jendral FAO, Jacques Diouf, meluncurkan suatu laporan tahunan soal kerawanan pangan dunia yang menyebutkan bahwa krisis pangan banyak dialami keluarga miskin, mereka yang tak punya lahan, dan perempuan Ibu rumah tangga. Dalam laporan "State of Foods Insecurity in World 2008", Diouf menyerukan negara-negara kaya agar menginvestasikan 30 miliar dollar AS per tahun dalam pertanian.
Meskipun produksi pangan dunia meningkat, melebihi pertumbuhan penduduk, namun kelaparan tetap saja terjadi. Ini terjadi bukan karena kelangkaan pangan, melainkan akibat kebijakan neoliberal bidang pangan di tingkat Internasional yang mengingkari kedaulatan dan hak dasar petani. Dulu, kita percaya bahwa pangan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Gizi pangan yang memadai merupakan hak dasar dan esensial bagi kehidupan, seperti dapat dilihat dalam Deklarasi HAM PBB "The UN Declaration of Human Right dan The UN Covenant on Economic, Social and Cultural Rights".
Menyikapi persoalan demikian, maka peran Bulog harus benar-benar dioptimalkan, agar ketahanan pangan kita bisa dikendalikan. Sebagai lembaga pangan, Bulog menjadi bekal bagi kemandirian pangan kita yang terkesan dikendalikan oleh pihak asing, sehingga eksistensi Bulog yang berubah menjadi lembaga Perum, khususnya BUMN, harus segera melakukan langkah-langkah inovatif untuk mengendalikan krisis pangan dan kelaparan akut.


Perubahan Dinamika Bulog dan Kesejahteraan Kaum Tani
Sebagai lembaga pangan, dinamika perubahan Bulog begitu sangat fundamental bagi eksistensi ketahanan pangan kita. Betapa tidak, sejak berganti nama menjadi BUMN, Bulog diharapkan mampu menopang keberlanjutan swasembada pangan, khususnya beras dalam mendorong kesejahteraan kaum petani. Itulah sebabnya, Bulog menjadi salah satu modal ekonomi yang paling menjanjikan untuk tetap mempertahankan stabilitas harga beras dan produksi lainnya.
Dalam konteks ini, setidak-tidaknya ada empat tugas publik yang tetap akan diemban oleh Bulog. Pertama, jaminan Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk Gabah (HDPP). Kedua, stabilisasi harga di pasar. Ketiga, konsistensi raskin bagi kaum pinggiran. Raskin adalah program perlindungan sosial (social protection program) yang ditujukan buat rumah tangga miskin (targeted food subsidy), umumnya mereka yang beresiko tinggi terhadap food insecurity. Keempat, sebagai cadangan atau stok pangan nasional.
Kendati demikian, perkembangan Bulog mengalami banyak perubahan. Awalnya, lembaga ini yang dibentuk pada 1967 berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet, dengan tugas pokok untuk menyediakan pangan untuk memperkuat Pemerintah Orde Baru. Kemudian dirubah pada 1978, untuk mendukung pembangunan pangan multi-komoditas. Pada 1993, waktu Kepala Bulog dirangkap oleh Menteri Negara Urusan Pangan, tanggung jawab Bulog diperluas, yaitu sebagai koordinator pembangunan pangan dan peningkatan mutu gizi. Ketika Bulog mengalami perubahan, maka kita perlu mengkritisinya dengan mencari faktor pendorong perubahan tersebut.
Pertama, perubahan kebijakan pangan Pemerintah dan perubahan mandat Bulog sehingga hanya diperbolehkan menangani komoditas beras, penghapusan monopoli impor atau hak-hak khusus impor sebagai STE (state trading enterprise). Hal ini menjadi penting, mengingat dinamika perubahan yang terjadi dalam lembaga Bulog sangat menentukan terhadap ketahanan pangan nasional.
Kedua, berlakunya berbagai UU baru, khususnya UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli, dan UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah. Sejumlah ahli berpendapat bahwa stok pangan nasional harus dilaksanakan secara terpusat, dan pangan harus dipakai sebagai sarana perekat nasional. Menurut hemat saya, sentralisasi pangan yang demikian, dapat memberikan jaminan ideal bagi masyarakat, karena ditangani oleh Badan Hukum Milik Negara (BUMN).
Ketiga, perubahan ekonomi global khususnya adanya WTO, serta pengaruh lembaga Internasional khususnya IMF sebagai prasyarat tentang Bulog dalam LOI (letter of inted) yang dibuat sejak 1997 sampai dengan 2000. WTO mengharuskan penghapusan berbagai hambatan perdagangan. Semua bentuk NTB (Non-Tariff Barrier) seperti monopoli, larangan perdagangan, dirubah menjadi TB (Tariff Barrier), serta perlunya membuka pasar dalam negeri. (Joan Hajono, 1993).
Perubahan kelembagaan Bulog, bagi saya, menjadi momentum awal bagi kaum tani untuk tetap mempertahankan produktifitas beras. Itulah sebabnya, saya berkeyakinan bahwa ide tentang perubahan Bulog ini dapat membantu kesejahteraan kaum tani yang terlunta-linta akibat harga beras yang tidak stabil. Maka, sebagai lembaga pangan, Bulog mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk terus memantau perkembangan harga beras dunia, agar pemberdayaan terhadap kaum tani dapat direalisasikan.


Deversifikasi Pangan: Harapan Bulog Masa Depan
Dari sekian komoditas yang menjadi fokus ketahanan pangan, peningkatan produksi beras merupakan prioritas utama yang perlu dikembangkan. Maka, rencana pemerintah untuk mengembangkan deversifikasi pangan sangat relevan bila dioptimalkan. Deversifikasi pangan di sini, bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras.
Menurut Deputi Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurti, konsumsi beras masyarakat Indonesia relatif sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain. Bahkan, Indonesia menempati urutan tertinggi sebagai negara yang mengkonsumsi beras. Maka tidak berlebihan, kalau deversifikasi pangan dalam konteks peningkatan produksi beras menjadi sebuah keniscayaan. (Kompas, 23/ 12/ 08).
Konsep ketahanan pangan sangat berbeda dengan konsep kedaulatan pangan. Menurut Albert Howard (1999), kedaulatan pangan adalah hak tiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses, mengontrol aneka sumberdaya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, dan konsumsi) pangan sendiri sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing-masing.
Berdasarkan konsep kedaulatan pangan di atas, maka untuk dapat mencapai kedaulatan pangan salah satu cara yang dipakai adalah dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal, yaitu diversifikasi pangan. Dengan adanya diversifikasi pangan, maka kita tidak akan lagi tergantung pada beras.
Oleh sebab itulah, perlu diadakan kajian yang mendalam tentang feasibilitas dalam mewujudkan diversifikasi pangan, yaitu mencakup telaah tentang orientasi kebijakan pangan pemerintah beserta political will pemerintah, budaya masyarakat terhadap beras (mentality rice), kandungan gizi dari bahan pangan lain pengganti beras, serta berbagai hambatan dalam penerapan diversifikasi.
Penutup
Pada titik inilah, deversifikasi pangan menjadi harapan bagi masa depan Bulog, agar tetap eksis dalam menjaga perkembangan harga dan ketahanan pangan nasional. Sebagai bagian dari masyarakat, saya mempunyai harapan bahwa Bulog nantinya bisa menjadi sentum ekonomi bangsa, khususnya masalah ketahanan pangan yang sangat vital bagi eksistensi kaum tani di masa depan.
Berangkat dari fungsi dan peranan Perum Bulog yang strategis dan signifikan di masa mendatang, maka BUMN selaku pemegang saham merasa perlu untuk melakukan leadership reform di jajaran dewan pengawas dan direksi Perum Bulog. (Antara, 21/ 03 /07). Kebijakan tersebut ditempuh sebagai langkah antisipatif agar kinerja Perum Bulog tidak terganggu dan dapat terus menjalankan fungsinya mengamankan stok beras nasional sebagai bagian dari ketahanan pangan nasional secara keseluruhan.

*Tulisan ini meraih juara I Lomba esai tingkat Nasional yang dilaksanakan oleh PERUM BULOG NASIONAL

Kontroversi UN dan Masa Depan Pendidikan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Harus diakui, bahwa kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan. Hal ini tidak lepas dari berbagai persoalan yang menjadi penghambat peningkatan kualitas pendidikan kita ke arah yang lebih progresif, sehingga idealisme untuk mencapai pendidikan berkualitas masih belum teraktualisasi.
Masalah-masalah mendasar, seperti pemerataan pendidikan, kesejahteraan guru, perbaikan gedung sekolah, pembiayaan pendidikan merupakan problem yang selalu menyita perhatian banyak pihak, ketimbang substansi dari peningkatan kualitas pendidikan. Problem tersebut, setidaknya akan memberikan implikasi negatif terhadap masa depan pendidikan nasional.
Apalagi tingkat mutu pendidikan nasional berada pada posisi yang sangat rendah. Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita yang telah menunjukkan peningkatan signifikan dan perubahan mendasar dari kualitas pendidikannya, semisal Malaysia, Singapura, Filipina dan negara tetangga yang lain.
Dunia pendidikan kita memang tidak pernah lepas dari berbagai problema, termasuk persoalan UN yang selalu memunculkan kontroversi di kalangan pendidik, praktisi, orang tua dan juga siswa sendiri. Setiap tahun polemik UN menyita banyak energi dan perhatian. Pertanyaan yang harus dijawab secara mendasar, mau dibawa ke mana pendidikan kita dewasa ini?
Secara latah praktik UN mencoba mengadopsi secara sepihak tuntutan modernisasi, namun lupa membangun etika budaya sebagai manusia yang cinta bangsa dan tanah air. Jika anak didik hanya memperdalam matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris -karena mata ajaran itu yang diujikan dalam ujian nasional-, maka tidak ada keseriusan anak didik mempelajari pendidikan moral, agama, budi pekerti, sejarah, nilai-nilai kemanusiaan dan kejuangan karena tidak pernah akan diujikan dan menentukan kelulusan.
Terhadap UN misalnya, pemerintah selalu mengatakan penyelenggaraan model itu sudah mengadopsi negara-negara maju. Yang dilupakan, di negara-negara tetangga kita pendidikan menyebar cukup merata sehingga standarisasi yang bersifat nasional mudah diterapkan. Bandingkan dengan Indonesia, sarana-prasarana, guru, laboratorium, pelaksanaan kurikulum, SDM guru masih timpang. Meski anak Jakarta belajar di ruang-ruang berpendingin, banyak anak daerah bersekolah di sekolah tanpa dinding, tanpa atap, dan akses informasi amat terbatas. Pendidikan kita yang belum merata tidak layak dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Kebingungan
Penyelenggaran UN dalam dunia pendidikan, memang menyisahkan kebingungan bagi pihak yang berkompeten dengan kemajuan pendidikan, termasuk orang tua, anak didik, guru, praktisi pendidikan, dan masyarakat secara umum. Kebingungan di sini, tidak lepas dari munculnya dilema antara harapan dan kekhawatiran.
Pada satu sisi, UN merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan anak didik dalam mengikuti mata pelajaran. Dengan kata lain, UN menjadi penilaian terakhir yang sangat mendebarkan, apakah anak didik lulus atau tidak? Namun di sisi lain, UN mejadi dilema bagi anak didik, karena penentu kelulusan belajar hanya ditentukan dalam satu hari. Jika anak didik tidak lulus ketika mengikuti UN, maka secara otomatis, ia harus mengulang untuk satu tahun ke depan.
Dilema UN tidak saja mengkhawatirkan bagi anak didik yang terlibat langsung, melainkan juga dirasakan oleh pihak orang tua dan para guru yang tidak setuju UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan. Padahal, aspek penilaian keberhasilan anak didik memiliki banyak variasi dan dinilai dari berbagai aspek. Salah satunya adalah penekanan pada aspek psikomotorik dan afektif.
Pada titik inilah, UN menjadi bumerang dalam dunia pendidikan. Betapa tidak, pelaksanaan UN tidak semulus apa yang kita bayangkan, karena selalu menghadirkan perdebatan dan kontroversi yang beragam. Munculnya perdebatan dan kontrovorsi seputar perlu tidaknya UN dilaksanakan, menunjukkan bahwa masyarakat tidak siap UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan.

Bukan Cermin Kualitas Pendidikan
Kita tahu, passing grade UN tahun ini mencapai 5, 25. Angka ini, bagi anak didik yang tidak memiliki kognisi tinggi, tentu sangat mengkhawatirkan. Ini karena, untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam belajar, sehingga bisa melewati UN dengan baik.
Berbeda dengan anak didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tentu, UN bukan merupakan penghalang dan penghambat dalam mencapai kesuksesan belajar. Selain didukung oleh mental yang siap, mereka juga memiliki kecerdasan kognitif yang mumpuni untuk nenghadapi UN dengan tenang.
Pertanyaannya sekarang, apakah UN merupakan indikator kualitas pendidikan? Menurut hemat saya, UN bukan merupakan cermin kualitas pendidikan. Karena disadari, cermin kualitas pendidikan tidak ditentukan dengan penilaian subjektif, seperti UN. Penilaian subjektif di sini adalah penilaian yang tidak memperhatikan aspek penilaian lain yang lebih penting dengan hanya memfokuskan pada penilaian kognitif semata. Padahal, penilaian kognitif merupakan penilaian yang mengabaikan aspek kreativitas dan tingkah laku anak didik. Seharusnya, UN tidak hanya bertumpu pada penilaian kognitif, melainkan harus diintegrasikan dengan penilaian psikomotorik dan afektif.
Ketika UN menjadi penentu kelulusan anak didik, maka ketekunan belajar harus menjadi prioritas utama. Ketekunan anak didik, akan sangat berarti untuk menghadapi UN yang kompetitif dan ketat. Apalagi, UN merupakan penilaian secara umum yang dilaksanakan pemerintah dan mendiknas.
Dengan penilain yang integratif ini, pelaksanaan UN akan semakin bermutu dan jaminan atas kualitas pendidikan juga akan sangat menentukan. Pada titik inilah, UN tidak saja akan menentukan, namun juga menjadi indikator keberhasilan anak didik untuk menggapai masa depan yang gemilang.

Mohammad Takdir Ilahi,
(Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Diposting dari Galamedia Bandung, 6 April 2009

Kamis, 16 April 2009

Imaji Iklan dan Politik Pencitraan

Oleh Mohammad Takdir Ilahi
Sebentar lagi, Indonesia akan memilih pemimpin terbaiknya untuk lima tahun ke depan. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2009 demi lancarnya proses demokratisasi di Indonesia. Setelah sekian lama dilanda problem kebangsaan, rakyat Indonesia berharap pada pemimpin baru (new leader) yang mampu mewujudkan cita-cita luhur bangsa ke arah perubahan dan kemajuan yang signifikan.
Harapan terhadap pemimpin baru (new leader), memang sangat dinantikan demi terbangunnya kepemimpinan ideal yang bisa meneruskan estafet kepemimpinan founding fathers kita. Apalagi, pemimpin baru itu, memiliki visi dan misi yang jelas dan mampu melaksanakan janji politiknya.
Terlepas dari hal itu, sebelum Pemilu berlangsung, para elite politik mulai mempersiapkan diri menghadapi derasnya suhu politik yang tidak sehat. Sudah menjadi hal yang lazim, ketika proses kampanye berlangsung, partai politik berupaya mengumpulkan massa demi kesuksesan partai yang diusungnya. Bahkan, sebelum kampanye dilaksanakan, partai politik sudah mempromosikan janji-janji politik yang akan diaspirasikan ketika kampanye berlangsung.
Di sudut-sudut jalan, pertokoan, perkantoran, gedung-gedung pemerintahan, dan di tempat strategis lainnya, kita dapat menemukan nuansa kampanye yang dimanifestasikan melalui spanduk dan baleho yang melambangkan partai politik tertentu. Terdapat ajakan dan rayuan yang mencoba menampilkan segudang harapan bagi rakyat yang memilih partainya.
Ajakan dan rayuan yang ditampilkan melalui spanduk-spanduk merupakan salah satu bentuk iklan politik yang hendak mempromosikan visi dan misi parpolnya, di samping juga mencetuskan harapan-harapan semu yang belum tentu direalisasikan.
Iklan politik yang terdapat di jalan-jalan, merupakan bagian dari kampanye parpol untuk memperoleh dukungan luas dari rakyat. Melalui iklan politik, partai politik berharap banyak akan perhatian masyarakat terhadap masa depan dan kejayaan parpolnya.
Namun demikian, keberadaan iklan politik harus efektif dan etis. Dalam artian, ketika menyampaikan pesan tidak harus memunculkan reaksi pro dan kontra, sehingga bisa merugikan pihak yang lain. Menurut Ketua Umum PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), Haris Thajeb, iklan politik harus memperhatikan etika dalam beriklan dengan tidak menyampaikan pesan-pesan yang merugikan orang lain. Menurutnya, pengiklanan seperti di media massa sangat bertentangan dengan etika periklanan, dan oleh karenanya perlu ada guidance yang menjadi pedoman. (Harian Jogja, 13/ 02/09).
Semakin merebaknya iklan politik akhir-akhir ini, memang bukan hal yang aneh. Bahkan, fenomena tersebut merupakan hal yang wajar, mengingat pertarungan politik pada Pemilu 2009 sudah semakin dekat. Di Yogyakarta, iklan politik yang menampilkan atribut parpol maupun caleg yang diusung, menghiasi di berbagai sudut jalan. Nuansa kampanye di DIY begitu kental dengan menampilkan sosok pemimpin nasional sebagai wahana membangun citra di mata publik.
Berbagai janji politik mulai dirumuskan untuk menarik simpati masyarakat, agar memilih partai politik tertentu sehingga bisa berkibar lebih jauh dalam memperoleh dukungan rakyat. Suara parpol tentu sangat berpengaruh pada tokoh parpol yang diusung dalam Pemilu mendatang, sehingga mau tidak mau perolehan suara harus sesuai dengan target yang dicanangkan.

Politik Pencitraan
Keberadaan iklan politik di berbagai media, tentu memiliki dampak pada citra tokoh pemimpinannya. Inilah yang saya sebut sebagai ”politik pencitraan” atau dalam bahasa yang sederhana berupaya membangun imaji-imaji kosong dalam atribut citra dan tampilan parsial.
Secara kasat mata, partai politik menampilan foto caleg dan janji politiknya yang dihiasi untaian kata “Berjuang Untuk Rakyat Banyak”, Marilah Berpihak Pada Kebenaran”, dan untaian kata yang memikat hati dan simpati pemilihnya.
Secara rasional, kita tahu bahwa foto-foto itu tidak berbeda jauh dengan iklan sampo dan sabun. Mereka hanyalah imaji-imaji yang mengaburkan realitas. Tidak heran, kalau dalam alegori Goa-nya yang terkenal, Platon mengatakan, bahwa imaji bukanlah realitas. Imaji hanyalah bayang-bayang (shadows) dan gambar (eikon) realitas. Dengan demikian, imaji dapat memberikan efek dahsyat bagi yang tidak memahami nilai dan signifikansi imaji tersebut. (Kompas, 20/ 01/09).
Politik pencitraan memang menampilkan segudang harapan dan perubahan. Namun, harapan dan perubahan itu hanyalah utopia belaka yang bersifat imajinatif. Membangun citra itu penting, tapi lebih penting lagi kalau citra itu tidak terbatas pada tampilan semu dan parsial, sehingga bisa mengecoh orang sekitarnya.

Mengenal Latar Belakang
Kita tidak hanya berhenti pada imaji-imaji kosong yang berbentuk simpati lewat untaian kata maupun tampilan foto caleg semata, tetapi kita harus menerobos imaji-imaji itu dalam realitas yang sebenarnya, yakni dengan mengenal latar belakang kehidupannya.
Dalam mengenal latar belakang caleg, terlebih dahulu kita harus mengenal diri kita sendiri. Kenalilah dirimu sendiri. Begitulah maksim Orakel Delphi dasar pencarian kebijakan Socrates, bapak semua pencari kebijakan dalam kebijakan (Platon, Alkibiades, 130 E).
Bila caleg yang kita pilih hanya menebar senyum dan janji-janji politik semu, maka kita harus mempertanyakan realitas kebenaran yang diusungnya. Dengan begitu, kita tidak akan tertipu oleh iklan, slogan, maupun foto-foto simpatik dari para caleg.
Pada titik inilah, politik pencitraan bukan semata-mata membangun citra dan reputasi, melainkan sudah bermuatan politis yang tidak sehat, bahkan bisa menjerumuskan masyarakat pada pilihan yang salah.
Sebagai pemilih pemula, kita harus berhati-hati dengan ajakan maupun rayuan para tim sukses caleg, yang sengaja menggiring kita pada pilihan utopis. Ingatlah bahwa satu suara sangat menentukan terhadap masa depan bangsa ke depan. Jika kita tidak hati-hati, maka nasib bangsa kita menjadi taruhan.
Dimuat di Harian Jogja, 16 Desember 2008