Rabu, 22 April 2009

Ambivalensi Anggaran Pendidikan 20%

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Kemajuan pembangunan suatu bangsa, tidak bisa lepas dari kualitas pendidikan yang dihasilkan. Jika kualitas pendidikan anak didik tidak mampu diberdayakan dan ditingkatkan ke arah yang lebih menjanjikan, maka harapan untuk menciptakan generasi yang berkualitas hanya akan menjadi utopia belaka. Dengan kata lain, sektor pembangunan pendidikan niscaya menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan pengelola pendidikan dalam rangka mengoptimalkan potensi anak didik yang berkembang.
Memang harus diakui, problem pendidikan selalu menghiasi dinamika kemajuan suatu bangsa. Semisal, sarana dan prasarana, kualitas guru, kurikulum, dan anggaran pendidikan yang berbelit-belit. Problem anggaran pendidikan menjadi isu aktual yang kembali dimunculkan, mengingat realisasi anggaran untuk pendidikan masih belum mencapai target yang dicanangkan. Apalagi, dihadapkan pada persoalan sektor pendidikan yang terabaikan oleh pemerintah.
Jika realisasi anggaran pendidikan masih berbelit-belit, sangat mustahil bagi kita untuk memecahkan problem pendidikan yang akut, semisal pemberantasan buta huruf, maraknya anak putus sekolah, sekolah makin sulit dan mahal. Hal ini bisa kita buktikan, pada tahun 2007, SBY-JK hanya mengalokasikan anggaran sektor pendidikan sebesar Rp 43,489 Triliun. Jumlah itu hanya 11,8% dari total APBN tahun 2007 yang besarnya mencapai 763,6 Triliun. Sedangkan untuk APBN 2008, SBY-JK hanya menjanjikan anggaran pendidikan sebesar 12,3% dari total APBN. (SP/05/07/08).
Hal ini berarti, komitmen SBY-JK dalam sebuah Konferensi Regional UNESCO mengenai “Upaya Pemberantasan Buta Huruf Se-dunia” (Regional Conferences in Support of Global Literacy), di Beijing, China, beberapa waktu yang lalu adalah bohong besar. Berapa juta anak lagi yang akan menjadi korban kebohongan dan ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat miskin, jika anggaran pendidikan yang semestinya direalisasikan ternyata tidak terbukti di lapangan.
Menyadari persoalan itu, mana mungkin kita bisa memecahkan problem pendidikan yang akut, kalau kesempatan untuk mengakses pendidikan bagi semua orang (education for all), terutama untuk orang miskin justru dihambat dengan paket neoliberalisme di sektor pendidikan. Jika memang selama ini, Indonesia selalu mengacu pada konsep ”Pendidikan Untuk Semua” (education for all) yang dicetuskan di Jomtien, Bangkok, Thailand, pada 1990, pemerintah seharusnya bertindak lebih cepat agar pendidikan tak hanya menjadi milik orang-orang berduit.
Mana mungkin juga, kita bisa menciptakan generasi berkualitas dan unggul, jika anggaran untuk pendidikan sangat kecil, dan anggaran negara justru harus dihambur-hamburkan untuk kepentingan membayar utang luar negeri dan menerbitkan surat obligasi untuk melindungi konglomerat hitam seperti dalam kasus BLBI.
Seharusnya, dengan realisasi anggaran pendidikan 20%, rakyat miskin mungkin bisa menjangkau pendidikan secara layak, apalagi ditunjang dengan berbagai bantuan pemerintah, seperti dana BOS. Akan tetapi, persoalan efektifitas dan efesiensi menjadi kendala dalam mendistribusikan anggaran guna menjangkau anak didik.
Berbelit-belitnya anggaran pendidikan, tentu berimplikasi terhadap semakin menjamurnya anak miskin putus sekolah, sehingga menghambat regenerasi dan kaderisasi anak bangsa. Angka putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia empat tahun terakhir masih di atas 1 juta per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar (80%) adalah mereka yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP).
Di lihat secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 sampai 3 persen. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka yang sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolah di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang. (Sumber: Litbang Kompas).

Bukan ”Barang” Komoditi?

Pembiayaan pendidikan yang besar, tidak lebih sebagai ”barang” komoditi. Betapa tidak, pendidikan sebagai barang komoditi, meniscayakan warga membayar biaya pendidikan guna memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Dengan kata lain, pendidikan bagi warga miskin sangat sulit dijangkau, karena terlalu mahal dan mewah.
Pada titik inilah, benar apa yang dikatakan Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Prof. Soedijarto, bahwa konstitusi menyatakan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (walfare state) . Dalam artian, pemerintah Indonesia dibentuk guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Sejauhmana komitmen dan tanggung jawab pemerintah terhadap biaya pendidikan di Tanah Air? Soedijarto, meyakini semangat pendiri negara (the founding fathers) adalah meniru negara kesejahteraan di Eropa yang membiayai kebutuhan pendidikan. Dalam negara kesejahteraan tersebut, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar untuk menggratiskan biaya pendidikan dengan perencanaan dan pelaksanaan yang dinamis dan sistematis.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mungkin negara kita akan membiayai seluruh dana pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, kalau realisasi anggaran pendidikan yang dicanangkan 20% masih belum dirasakan masyarakat. Padahal, kalau kita mengacu pada Pasal 31 Ayat 3 konstitusi menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar. Adapun pemerintah wajib membiayainya.
Peliknya masalah anggaran pendidikan, sejatinya tergantung pada komitmen pemerintah dalam merealisasikan amanat Undang-Undang yang telah direkomendasikan. Jika pemerintah mempunyai komitmen untuk merealisasikan amanat tersebut, maka pencapaian anggaran pendidikan sebesar 20% bisa dioptimalisasikan. Dalam artian, bahwa komitmen menjadi pertaruhan pemerintah untuk menjamin setiap warga negara guna memperoleh pendidikan secara layak. Dengan komitmen tersebut, pemerintah boleh dikatakan berhasil dalam mengagendakan anggaran pendidikan tanpa mengabaikan hak-hak warga negara, sehingga mendapatkan perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang layak.
Dengan demikian, kunci utama pendidikan yang mudah dijangkau rakyat miskin adalah komitmen merealisasikan anggaran pendidikan 20% secara akuntabel, transparan, dan melalui monitoring yang ketat, sehingga tidak mengabaikan sektor pendidikan yang menjadi faktor kemajuan suatu bangsa di seluruh dunia.

Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Diterbitkan Galamedia Bandung, 5 April 2009

Tidak ada komentar: