Senin, 20 April 2009

Kontroversi UN dan Masa Depan Pendidikan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Harus diakui, bahwa kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan. Hal ini tidak lepas dari berbagai persoalan yang menjadi penghambat peningkatan kualitas pendidikan kita ke arah yang lebih progresif, sehingga idealisme untuk mencapai pendidikan berkualitas masih belum teraktualisasi.
Masalah-masalah mendasar, seperti pemerataan pendidikan, kesejahteraan guru, perbaikan gedung sekolah, pembiayaan pendidikan merupakan problem yang selalu menyita perhatian banyak pihak, ketimbang substansi dari peningkatan kualitas pendidikan. Problem tersebut, setidaknya akan memberikan implikasi negatif terhadap masa depan pendidikan nasional.
Apalagi tingkat mutu pendidikan nasional berada pada posisi yang sangat rendah. Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita yang telah menunjukkan peningkatan signifikan dan perubahan mendasar dari kualitas pendidikannya, semisal Malaysia, Singapura, Filipina dan negara tetangga yang lain.
Dunia pendidikan kita memang tidak pernah lepas dari berbagai problema, termasuk persoalan UN yang selalu memunculkan kontroversi di kalangan pendidik, praktisi, orang tua dan juga siswa sendiri. Setiap tahun polemik UN menyita banyak energi dan perhatian. Pertanyaan yang harus dijawab secara mendasar, mau dibawa ke mana pendidikan kita dewasa ini?
Secara latah praktik UN mencoba mengadopsi secara sepihak tuntutan modernisasi, namun lupa membangun etika budaya sebagai manusia yang cinta bangsa dan tanah air. Jika anak didik hanya memperdalam matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris -karena mata ajaran itu yang diujikan dalam ujian nasional-, maka tidak ada keseriusan anak didik mempelajari pendidikan moral, agama, budi pekerti, sejarah, nilai-nilai kemanusiaan dan kejuangan karena tidak pernah akan diujikan dan menentukan kelulusan.
Terhadap UN misalnya, pemerintah selalu mengatakan penyelenggaraan model itu sudah mengadopsi negara-negara maju. Yang dilupakan, di negara-negara tetangga kita pendidikan menyebar cukup merata sehingga standarisasi yang bersifat nasional mudah diterapkan. Bandingkan dengan Indonesia, sarana-prasarana, guru, laboratorium, pelaksanaan kurikulum, SDM guru masih timpang. Meski anak Jakarta belajar di ruang-ruang berpendingin, banyak anak daerah bersekolah di sekolah tanpa dinding, tanpa atap, dan akses informasi amat terbatas. Pendidikan kita yang belum merata tidak layak dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Kebingungan
Penyelenggaran UN dalam dunia pendidikan, memang menyisahkan kebingungan bagi pihak yang berkompeten dengan kemajuan pendidikan, termasuk orang tua, anak didik, guru, praktisi pendidikan, dan masyarakat secara umum. Kebingungan di sini, tidak lepas dari munculnya dilema antara harapan dan kekhawatiran.
Pada satu sisi, UN merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan anak didik dalam mengikuti mata pelajaran. Dengan kata lain, UN menjadi penilaian terakhir yang sangat mendebarkan, apakah anak didik lulus atau tidak? Namun di sisi lain, UN mejadi dilema bagi anak didik, karena penentu kelulusan belajar hanya ditentukan dalam satu hari. Jika anak didik tidak lulus ketika mengikuti UN, maka secara otomatis, ia harus mengulang untuk satu tahun ke depan.
Dilema UN tidak saja mengkhawatirkan bagi anak didik yang terlibat langsung, melainkan juga dirasakan oleh pihak orang tua dan para guru yang tidak setuju UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan. Padahal, aspek penilaian keberhasilan anak didik memiliki banyak variasi dan dinilai dari berbagai aspek. Salah satunya adalah penekanan pada aspek psikomotorik dan afektif.
Pada titik inilah, UN menjadi bumerang dalam dunia pendidikan. Betapa tidak, pelaksanaan UN tidak semulus apa yang kita bayangkan, karena selalu menghadirkan perdebatan dan kontroversi yang beragam. Munculnya perdebatan dan kontrovorsi seputar perlu tidaknya UN dilaksanakan, menunjukkan bahwa masyarakat tidak siap UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan.

Bukan Cermin Kualitas Pendidikan
Kita tahu, passing grade UN tahun ini mencapai 5, 25. Angka ini, bagi anak didik yang tidak memiliki kognisi tinggi, tentu sangat mengkhawatirkan. Ini karena, untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam belajar, sehingga bisa melewati UN dengan baik.
Berbeda dengan anak didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tentu, UN bukan merupakan penghalang dan penghambat dalam mencapai kesuksesan belajar. Selain didukung oleh mental yang siap, mereka juga memiliki kecerdasan kognitif yang mumpuni untuk nenghadapi UN dengan tenang.
Pertanyaannya sekarang, apakah UN merupakan indikator kualitas pendidikan? Menurut hemat saya, UN bukan merupakan cermin kualitas pendidikan. Karena disadari, cermin kualitas pendidikan tidak ditentukan dengan penilaian subjektif, seperti UN. Penilaian subjektif di sini adalah penilaian yang tidak memperhatikan aspek penilaian lain yang lebih penting dengan hanya memfokuskan pada penilaian kognitif semata. Padahal, penilaian kognitif merupakan penilaian yang mengabaikan aspek kreativitas dan tingkah laku anak didik. Seharusnya, UN tidak hanya bertumpu pada penilaian kognitif, melainkan harus diintegrasikan dengan penilaian psikomotorik dan afektif.
Ketika UN menjadi penentu kelulusan anak didik, maka ketekunan belajar harus menjadi prioritas utama. Ketekunan anak didik, akan sangat berarti untuk menghadapi UN yang kompetitif dan ketat. Apalagi, UN merupakan penilaian secara umum yang dilaksanakan pemerintah dan mendiknas.
Dengan penilain yang integratif ini, pelaksanaan UN akan semakin bermutu dan jaminan atas kualitas pendidikan juga akan sangat menentukan. Pada titik inilah, UN tidak saja akan menentukan, namun juga menjadi indikator keberhasilan anak didik untuk menggapai masa depan yang gemilang.

Mohammad Takdir Ilahi,
(Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Diposting dari Galamedia Bandung, 6 April 2009

1 komentar:

Pak Guru mengatakan...

Un dan penyelenggaraannya memang penuh persoalan. Kasihan para siswa dan orang tuanya yang menjadi korban...

Saya menulis artikel terkait mengenai hal ini, silahkan berkunjung ke:

http://catatan-guru.blogspot.com/2009/04/un-on-fall.html