Kamis, 28 Mei 2009

Benarkah Facebook Haram?


Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*

Berkembangnya Facebook akhir-akhir ini, seolah-olah telah melahirkan dunia baru (new world) bagi perjalanan komunikasi manusia. Betapa tidak, dengan Facebook, manusia dengan mudah berkomunikasi dengan sejawatnya tanpa hambatan apa pun. Bisa dikatakan, bahwa saat ini ummat manusia telah sampai pada penjajahan global, sebuah petualangan jagat alam raya maya yang melampaui realitas.

Fenomena ini, oleh Erich Fromm (1977), disebut dengan hiperrealitas (hyperreality) atau sebuah realitas virtual (virtual reality). Dengan kata lain, bahwa perkembangan tekonologi komunikasi (apalagi Facebook) telah memungkinkan manusia hidup dalam dunia yang disebut ”desa global (global village). Sebuah dunia yang tak lebih besar dari layar kaca atau sebuah disket dengan perangkat lunaknya yang mampu mengkalkulasi, memproduksi, dan me-replay segala bentuk komunikasi media tersebut.

Kehadiran Facebook telah menjadi fenomena tersendiri bagi kecanggihan teknologi komunikasi yang berkembang pesat saat ini. Oleh sebab itu, muncul berbagai harapan, euforia, dan optimisme dalam menyambut datangnya sebuah era baru (new age) yang tidak terbungkus oleh sekat-sekat geografis, ideologis, dan batasan-batasan normatif-etis dalam menjelajahi dunia realitas. Realitas virtual inilah, yang akan memberikan jaminan yang lebih dari sekedar ”nihilisme” atau ”realitas kosong” (vacum reality) untuk memenuhi hasrat utilitarian manusia. Utilitarianisme adalah suatu sikap yang menunjukkan bahwa kebenaran dan kesalahan ditentukan oleh banyaknya kesenangan dan ketidaksenangan yang diakibatkannya. (Astar Hadi, 2005).
Menggugat Fatwa Haram Facebook

Ketika Facebook menjadi bagian dari realitas virtual, ketika itu pula Facebook dijadikan sebagai lompatan baru dalam menjejalahi jaga alam semesta tanpa batas dan sekat. Namun, dibalik kecanggihan Facebook, ternyata menimbulkan resistensi dari banyak kalangan sehingga muncullah fatwa haram terkait dengan penggunaan Facebook.

Beberapa hari ini, kita memang dikejutkan dengan berita yang cukup menggemparkan khalayak ramai terkait dengan fatwa haram facebook. Keputusan mengharamkan Facebook, tidak lepas dari kegelisahan sebagian kalangan yang sangat terganggu dengan munculnya media komunikasi tersebut.

Sebagai salah seorang pengguna Facebook, saya merasa terganggu dengan pemberitaan dan keputusan pengharaman Facebook. Betapa tidak, keputusan tersebut secara faktual tidaklah rasional, karena hanya mengacu pada dampak negatif yang ditimbulkan oleh media Facebook. Kalau kita bercermin diri, semua media yang berkembang saat ini bisa saja memunculkan hal-hal yang negatif.

Saya menyadari, bahwa fatwa haram ini tidak berlandaskan pada keputusan yang matang, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan pertentangan yang sangat sengit antara banyak kalangan. Seharusnya, kita harus melihat secara cermat legitimasi keputusan ini dengan mengacu pada pertimbangan kesepakatan untuk memutuskan kepada khalayak ramai. Hal ini disebabkan, keputusan yang berhaluan kontraproduktif tanpa persetujuan dari pihak yang berkompeten akan menimbulkan resistensi yang kuat di antara kalangan yang tidak setuju dengan pengharaman ini.

Keputusan mengharamkan Facebook, bagi saya, cukup mengejutkan. Kalau memang MUI berkomitmen untuk mengharamkan Facebook, kenapa dari dulu tidak mengharamkan jaringan penggunaan internet, Hp, blogs, maupun friendster. Ini karena, media tersebut juga berpotensi mengacaukan moralitas dan spiritualitas anak bangsa saat ini.

Menurut hemat saya, apa pun media komunikasi yang digunakan, kalau disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab pasti akan menimbulkan dampak negatif bagi dirinya dan orang lain. Jadi, tergantung pada keperibadian dan sikap masing-masing individu dalam memakai segala kecanggihan komunikasi di era kontemporer sekarang ini. Tidak ada salahnya, kalau kita bercermin diri, bahwa dibalik semua yang kita punya tidak jarang juga akan memunculkan nilai-nilai negatif.

Untuk memahamai persoalan pengharaman Facebook, kita terlebih dahulu harus menganalisis sisi positif yang ditimbulkan dari media tersebut. Pertama, bahwa Facebook dapat mempermudah akses kita untuk mendapatkan teman baru. Melalui teman baru itu kita bisa saling tukar informasi dan berita-berita penting yang dapat kita ambil sisi positifnya.

Kedua, Facebook, bagi saya, sangat bernilai positif karena sebagai penulis saya berkesempatan untuk mengenal lebih jauh para penulis terkanal. Terus terang, dengan kehadiran Facebook, saya bisa bertatap muka dengan penulis idola yang saya anggap mampu menjadi inspirator dalam mengembangkan dunia tulis menulis. Ketika itulah, saya sadar bahwa Facebook dapat memberikan inspirasi positif bagi pengembangan wawasan saya ketika saya lagi tidak punya ide untuk menulis. Sungguh, sangat beruntung saya bisa menggunakan dan memanfaatkan media komunikasi seperti Facebook.

Ketiga, kehadiran Facebook, bagi saya, memunculkan semangat dan kepercayaan diri yang baru, karena ketika Facebook belum tampak di tengah-tengah kita, saya sempat putus hubungan dengan teman lama saya yang sangat berpengaruh dalam perjalanan masa depan saya. Kebetulan, sejak SMA, saya belum pernah berkomunikasi dan bertemu langsung dengan teman lama saya tersebut. Dan, ketika Facebook muncul ke permukaan, maka saya berkesempatan untuk mengetahui keberadaan teman saya tersebut.

Kembali pada haram tidaknya Facebook, kita memang harus berkeyakinan bahwa Facebook lebih banyak sisi positifnya ketimbang sisi negatifnya. Seharusnya, tidak perlu ada keputusan untuk mengharamkan penggunaan Facebook, karena bertebarnya maksiat dan ambruknya moralitas generasi muda tidak semata-mata disebabkan oleh kehadiran Facebook.
Kalau kita bercermin diri, ternyata dalam setiap gerak-gerik kita pasti menimbulkan maksiat atau pun sarana untuk melakukan hal-hal yang dilarang agama. Kaki dan tangan kita, kalau tidak dikendalikan dengan landasan moral dan agama selalu akan memacu kita untuk melakukan tindakan amoral.

Suatu hal yang perlu kita ketahui, bahwa ketika ada orang yang memasukkan foto-foto porno, maka dengan sendiri pengelola Facebook akan meng-upload-nya, karena memang Facebook bukan media komunikasi pribadi, tetapi sebagai media umum yang bisa dimasuki oleh siapa saja. Jadi, orang akan mempertimbangkan untuk memasukkan foto-foto porno, karena ketika sudah di-share foto-foto tersebut, maka orang itu akan malu dengan sendirinya.

Oleh karena itu, MUI tidak perlu memberikan keputusan fatwa haram terhadap Facebook, karena hanya akan menimbulkan konflik dan pertentangan baru di anatara banyak kalangan. Kalau pun nantinya, MUI resmi mengumumkan keputusan akan keharaman penggunaan Facebook, maka kalangan yang tidak setuju akan menuntut pengharaman media-media lain yang sudah terlebih dahulu berkembang pesat di kalangan masyarakat.

*Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.

Kamis, 14 Mei 2009

Diaspora Kaum Muda dan Kepemimpinan Kharismatik[1]

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi[2]

Pendahuluan

Sampai kapanpun, peran pemuda dalam sejarah bangsa Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan bagi masa depan bangsa. Karena eksistensinya, begitu sangat vital dalam memperbaiki kondisi bangsa yang sedang mengalami krisis kepemimpinan.
Pemuda diharapkan mampu menegakkan sendi-sendi kehidupan yang telah rapuh diterpa badai kehancuran. Kecerdasan pemuda dinantikan untuk membangun peradaban yang telah jatuh tersungkur dalam jurang kemerosotan akhlaq. Sikap kritis dan kepekaan pemuda dibutuhkan untuk mendirikan bangunan kebangsaan yang kokoh.
Peran yang disandang pemuda, sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen kontrol sosial (agent of control social) masih sangat efektif dan kreatif dalam memposisikan peran pemuda di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, peran pemuda mempunyai kekuatan untuk melakukan gerakan-gerakan kemajuan (progress movement) yang dapat memberikan masukan konsktruktif kepada pemerintah yang tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Dengan peran sentral pemuda, segala kebijakan yang berkenaan dengan masa depan bangsa dan kesejahteraan masyarakat akan tetap terkontrol. Hingga, pada akhirnya memunculkan gagasan balance of power yang terjadi antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan dengan rakyat sebagai pengontrol segala kebijakan.
Hal ini dapat kita lihat dari kasus jatuhnya Soekarno yang ditumbangkan oleh gerakan pemuda, yang tergabung dalam satuan aksi bersama pada tahun 1966. Begitu pula dengan tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998, yang tidak lepas dari aksi pemuda waktu itu. Setelah pemerintahan Soeharto tumbang dari tampuk kekuasan, maka dalam era reformasi sekarang, peran dan tanggung jawab pemuda semakin besar berada dipundak mereka.
Dalam konteks masa kini, problem kebangsaan yang dihadapi bangsa akan semakin krusial. Saya menyadari, bahwa bangsa ini telah mengalami krisis kepemimpinan yang cukup mempengaruhi cita-cita luhur bangsa kita tercinta. Dalam konteks ini, krisis kepemimpinan adalah terletak pada minimnya pemimpin masa depan yang berorientasi global dan berjiwa revolusioner serta memiliki semangat kebangsaan yang sangat tinggi.
Menyikapi persoalan demikian, pemuda dinantikan menjadi ”juru penyelamat” bangsa dari segala keterpurukan dan kehancuran, karena generasi tua yang diharapkan ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk membawa perubahan berarti bagi perbaikan bangsa.
Dalam hal ini, ada beberapa persoalan yang dihadapi pemuda, sebagai tantangan yang sangat kompleks dan penuh dengan nuansa kebebasan. Pertama, lahirnya beragam organisasi kepemudaan yang ada di negeri ini, sehingga memunculkan suatu perbedaan ideologi kebangsaan. Munculnya beragama organisasi kepemudaan, bukan menjadi jaminan ideal terciptanya suatu bangunan kebangsaan yang kokoh, malah justru akan semakin memperlebar jarak dan hubungan harmonis antar elemen pemuda.
Kedua, perbedaan ideologi kader organisasi yang tidak tuntas. Menurut hemat saya, persoalan ini mesti mengacu pada upaya pemberdayaan masing-masing individu yang berbeda ideologi. Maka, tak berlebihan, kalau kita perlu menyiapkan kader untuk terjun langsung dalam membela dan memimpin masyarakat dengan kedalaman kompetesinya, sehingga suara-suara pembelaan akan lebih berbobot. Jangka pendeknya, kita hendak menyiapkan organisasi atas realitas kebijakan yang semakin tajam, intelek, elegan, dan sekaligus solutif.
Meminjam istilahnya Hermawan Ibnu Nurdin (2003), kita perlu ”mensinergikan logika otak para intelektual dengan logika perut rakyat”. Pada level tertinggi dari proses kaderisasi adalah membentuk kader yang memiliki kepahaman pembuatan dan pengelolaan rencana strategis pembangunan negara dalam bidang-bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan teknologi.
Ketiga, lambatnya regerenerasi kepemimpinan. Persoalan ini sebenarnya terletak pada implikasi pada pola patronase dan senioritas organisasi kepemudaan sehingga pada gilirannya memunculkan sikap introvert dan perasaan mender dari generasi yang lebih muda, karena memang tidak memiliki kesempatan dan ruang untuk berekspresi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki mereka.
Mengutip tulisan Soe Hak Gie, seorang tokoh pemuda Indonesia tahun 1960-an yang banyak terlibat dalam aksi-aksi mahasiswa ketika menjatuhkan Presiden Soekarno pada waktu itu, Ia berkata ”Mahasiswa Indonesia berperan ibaratnya seorang resi (guru agama yang ahli bela deri), atau seorang sheriff yang turun ke kota untuk menyelamatkan rakyatnya ketika bandit-bandit datang dan mengancam keselamatan kota. Setelah bandir-bandit tersebut tewas atau melarikan diri, maka resi atau sheriff pergi meninggalkan kota tersebut dan kembali ke tempat tinggalnya”.
Kutipan di atas, sudah membuktkan bahwa eksistensi pemuda dalam sejarah panjang bangsa Indonesia sangat berperan penting dan vital dalam mengawal segala gerak-gerik kebijakan politik yang dimunculkan pemerintah. Dengan kata lain, pemuda dituntut untuk berpikir kritis untuk menghadapi segala tindakan yang bertentangan dengan hati nurani mereka.


Pemuda Sebagai Pemimpin Masa Depan
Kepemimpinan yang prima takkan pernah tercapai, kecuali dengan menyediakan ruang hidup bagi jejaringan pemuda. Kepemimpinan yang dimaksud penulis adalah kemampuan profesional pemuda dalam membangun masa depan bangsa ke arah kemajuan yang siginifikan. Karena masa depan bangsa ke depan sangat bergantung kepada potensi yang dimiliki pemuda demi kemajuan peradaban bangsa yang gemilang.
Membangun pemuda yang berjiwa masa depan, memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Dalam hal ini, dibutuhkan adanya bimbingan kepada pemuda untuk mengembangkan segenap potensinya yang berkembang. Sehingga, pada akhirnya dihasilkan pempimpin masa depan yang mampunyai landasan moral dan mampu memegang komitmen yang dijalaninya. Pemuda inilah yang diharapakan mampu membawa perubahan mendasar terhadap perbaikan kondisi bangsa Indonesia yang dilanda berbagai macam krisis dan persoalan krusial.
Melalui kepemimpinan pemuda ini, kita berharap bahwa masa deoan bangsa akan mengalami perubahan dan kemajuan, apalagi kita masih dalam peringatan kebangkitan nasional, dan momentum ini harus menjadi cambuk bagi generasi muda untuk terus berjuang seperti yang dilakukan para pahlawan kita masa dulu.
Dengan demikian, pembentukan pemuda berjiwa pemimipin masa depan membutuhkan pemberdayaan secara pikiran dan mental yang terdapat dalam jiwa pemuda. Karenanya, setiap pribadi sebagai pemuda harus menyadari akan kemampuannya, atau dalam istilahnya Pramodya “kita harus adil dalam pikiran”.

Kepemimpinan Kharismatik
Pada titik inilah, peran sentral pemuda dihadapkan pada satu tantangan yang luar biasa untuk membangun gaya kemempininan yang bisa diterima oleh masyarakat luas. Ini karena, kepemimpinan pemuda sangat menentukan terhadap arah dan masa depan bangsa ke depan, sehingga mau tidak mau mereka harus bisa menunjukkan performa yang baik (god performance) dalam memimpin suatu organisasi tertentu. Dengan kata lain, pemuda dituntut untuk membangun citra positif yang bisa membawanya pada satu posisi yang strategis dalam suatu pemerintahan.[3] Citra positif tersebut perlu didukung dengan kemampuan dan kapabilitasnya dalam memberikan pengaruh kepada masyarakat, sehingga apa yang disampaikan dapat diterima dengan baik.
Di tengah krisis kepemimpinan yang melanda bangsa kita, pemuda menjadi taruhan untuk menuntaskan persoalan tersebut. Apalagi, kita berada pada momentum pilpres yang merupakan ajang pertarungan untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Di sinilah peran pemuda dipertaruhkan untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa pemuda bisa menjadi pemimpin masa depan. Pada konteks ini, saya berupaya mengkaji kapasitas pemuda dalam membangun sinergitas dan loyalitas terhadap perjalanan bangsa ini ke depan. Artinya, apakah seorang pemuda juga mempunyai wibawa dan kharisma untuk memimpin bangsa ini yang sangat besar? Bila dianggap memiliki kharisma, apa bekal yang bisa ditunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka pantas menjadi pemimpin sebuah negara?
Ada kecenderungan khusus yang perlu diteliti lebih mendalam kaitannya dengan kampanye debat politik dari para calon pasangan presiden dan wakil presiden di Indonesia, yaitu persoalan kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership) yang merupakan konsep politik. Hal ini penting mengingat Indonesia merupakan negara yang baru mau menerapkan konsep demokrasi secara lebih baik. Kepemimpinan kharismatik di negara-negara berkembang menjadi salah satu faktor khusus yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan calon presiden.
Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis. Dalam konteks ini, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu adanya seseorang yang memiliki bakat yang luarbiasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luarbiasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.
Banyak teoritisi melakukan penelitian tentang kekuasaan kharismatik (charismatic authority). House (1977) [4] menyatakan bahwa prilaku pemimpin sangat berhubungan dengan kepemimpinan kharismatik, sifat-sifat personal dan variabel-variabel lain yang bersifat situasional. Meskipun ia melakukan penelitiannya pada hubungan diadik antara seorang pemimpin dan seorang pengikut, namun teori yang dipublikasikan dengan teori kepemimpinan kharismatik pada tahun 1976 itu memberikan andil besar pada pengembangan teori berikutnya.
Pada perkembangan selanjutnya, Burn (1978)[5] menyatakan bahwa ”kepemimpinan sebagai pemimpin dan pengikut yang melakukan tujuan-tujuan yang merepresentasikan nilai-nilai dan motivasi-motivasi dari mereka. Kepemimpinan kharismatik memberikan gerak kepada pemimpin untuk melakukan dan menerapkan kepemimpinannya sesuai dengan nilai-nilai dan motivasi para pengikutnya”.
Dalam konteks lain, kepemimpinan kharismatik didasarkan atas prilaku dan penerimaan dari pengikutnya sebagai pemimpin yang kharismatik. Menurutnya ada lima dimensi prilaku yang harus dimiliki seorang pemimpin kharismatik, yaitu: peduli terhadap konsteks lingkungannya, memiliki strategi dan artikulasi visi, peduli terhadap kebutuhan pengikutnya, memiliki personal risk, serta memiliki prilaku yang tidak konvensional.[6]
Tipe kepemimpinan kharismatik ini adalah tipe kepemimpinan yang dipandang sulit untuk dianalisis, karena literatur yang ada tentang kepemimpinan kharismatik tidak memberikan petunjuk yang cukup. Artinya, tidak banyak hal yang dapat disimak dari literatur yang ada tentang kepemimpinan kharismatik ini.Memang ada karaktristiknya yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang kharismatik adalah seorang yang dikagumi oleh banyak pengikut, meskipun para pengikutnya tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara kongkrit, mengapa orang (pemimpin kharismatik) tersebut dikagumi.
Seorang pemimpin kharismatik, penampilan fisik ternyata bukan menjadi ukuran yang berlaku umum, karena ada pemimpin yang dipandang sebagai pemimpin kharismatik, yang kalau hanya dilihat dari penampilan fisiknya saja sebenarnya tidak atau kurang mempunyai daya tarik. Usia pun tidak selalu dapat dijadikan ukuran.
Sejarah telah membuktikan bahwa seorang yang berusia relatif muda pun mendapat julukan sebagai pemimpin yang kharismatik. Jumlah harta yang dimilikinya pun tampaknya tidak bisa digunakan sebagai ukuran. Ada orang yang tergolong sebagai pemimpin yang kharismatik ternyata dari sudut kebendaan ia tergolong miskin Mungkin karena kekurangan pengetahuan untuk menjelaskan sesuai dengan kreteria ilmiah mengenai kepemimpinan yang kharismatik, maka orang akhirnya cenderung mengatakan bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki “kekuatan ajaib” yang tidak mungkin dijelaskan secara ilmiah, yang menjadikan orang-orang tertentu itu dipandang sebagai pemimpin yang kharismatik.
Sungguh sangat menarik untuk memperhatikan bahwa para pengikut seorang yang kharismatik tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap dan perilaku serta gaya yang digunakan oleh pemimpin yang dikutinya itu. Bisa saja seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang otokratik atau diktatorial, para pengikutnya tetap saja setia kepadanya. Mungkin seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang paternalistik, tetapi ia tetap tidak kehilangan daya pikatnya. Karakter Pemimpin Khasismatik
House, menjelaskan bahwa kepemimpinan kharismatik dengan mengidentifikasikan tiga karakteristik pribadi, yaitu: kepercayaan diri yang luar biasa tinggi, kekuasaan, dan teguh dalam keyakinan.[7] Dalam konteks ini, ia mengemukakan bahwa pimpinan kharismatik mempunyai tujuan ideal yang ingin dicapai, memiliki komitmen pribadi yang kuat pada tujuan, tegas dan percaya diri, serta sebagai agen perubahan radikal, bukan manajer dari status quo.
Maka, secara rinci dapat dijelaskan bahwa, seorang pemimpin yang kharismatik memiliki karakterisk sebagai berikut: Pertama, percaya pada diri, artinya meraka benar-benar percaya akan kemampuan diri mereka sendiri.
Kedua, memiliki suatu misi yang merupakan tujuan ideal yang mengajukan suatu masa depan yang lebih baik daripada status quo. Maka makin besar kemungkinan bahwa para pengikut akan menghubungkan visi yang luar biasa itu pada si pemimpin.
Ketiga, memiliki kemampuan untuk mengungkap visi sejelas mungkin, artinya mampu memperjelas dan menyatakan visi dalam kata-kata yang dapat difahami orang lain. Artikulasi ini menunjukkan suatu pemahaman akan kebutuhan para pengikut, dan karenanya akan bertindak sebagai suatu kekuatan motivasi.
Keempat, memiliki keyakinan kuat mengenai visi, artinya pemimpin kharismatik harus mempunyai komitmen yang kuat dan bersedia menanggung resiko yang tinggi, mengeluarkan biaya yang tinggi dan melibatkan dan berkorban untuk mencapai visi tersebut.
Kelima, perilaku yang di luar aturan, artinya mereka dengan kharisma ikut serta dalam perilaku yang dipahami sebagai hal yang baru, tidak konvensional dan berlawanan dengan norma-norma. Maka bila berhasil, perilaku ini menimbulkan kejutan dan kekaguman para pengikut.
Kelima, kepekaan terhadap lingkungan, artinya pemimpin kharismatik mampu membuat penilaian yang realistis terhadap kendala lingkungan dan sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan.

Pemuda dan Pembentukan Kepemimpinan Kharismatik
Fenomena kemimpinan pemuda yang kelihatan instan dan “asal jadi”, sesunguhnya bermuara pada penyebab gagalnya menyiapkan generasi muda terkini dalam menyongsong masa depan. Yang terkait disini adalah krisis keteladanan bangsa dari “kaum tua” sekaligus masih peliknya kondisi pendidikan Indonesia.
Dalam hal ini, Zaky Khairul Anam,[8] memberikan tawaran solusi yang sangat brilian kepada kita tentang strategi yang dapat dilakukan untuk membangun pemuda berjiwa pemimpin masa depan dan juga pemuda yang visioner, berani, pantang menyerah, dan tak hirau dengan gemerlapnya kehidupan dan popularitas.
Pertama, penanaman pendidikan kepemimpinan pemuda secara rasional yang bersifat nasionalis, pluralis dan strategis dalam pelbagai aspek kehidupan bangsa. Penanaman pendidikan kepemimpinan di sini berupa pelatihan dan pengembangan kepada kaum muda untuk mematangkan kecakapan kepemimpinan (leadership skill) yang lebih progresif dan profesional.
Kedua, membangun kematangan berpikir. Format kepemimpinan yang harus diwujudkan, mestinya sesuai dengan “jiwa zaman” yang membangun sistem pribadi-pribadi yang unggul, asketik, arif, dan berlandaskan pada moral etik di atas eksklusivisme primordialistik.
Membangun sistem pribadi ini, pada akhirnya menjadi strategi yang ideal untuk membentuk pemuda bervisi masa depan dan mampu membangun totalitas kehidupan yang bermuara pada nilai-nilai pribadi yang dikedepankan. Sehingga, terbentuklah pribadi-pribadi exelance yang mampu secara intelektual, emosional dan spritual.
Ketiga, membangun regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan yang berpijak pada fair-competition. Yang dimaksud fair-competition di sini adalah memberikan kesempatan kepada generasi muda yang memiliki kapabiitas dan intensitas yang memadai. Hal ini, bertujuan untuk membentuk generasi siap pakai dan mampu secara profesional mendayagunakan segenap potensinya yang berkembang.
Keempat, membangun pemuda yang berjiwa kritis dan konstruktif terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Pembangunan sikap seperti ini, dalam pandangan Yudi Latif (2005)[9] memerlukan terbentuknya komunitas dan barisan yang cinta khazanak keilmuan dalam samudra respublica literaria. Yakni, generasi yang senantiasa belajar segala ilmu pengetahuan dengan memuliakan pikiran sebagai manusia mulia. Hingga saatnya benih-benih kaum intelegensia dan intelektual hadir menuntun peradaban bangsa dengan kitab-kitab yang mencerahkan bangsa.

Penutup
Pemuda adalah agen perubahan (agent of change) dan kontrol sosial (social control), yang diharapkan mampu mengoptimalisasikan segenap potensinya yang berkembang ke arah perubahan fundamental, demi memperkuat kokohnya integritas bangsa di tengah kecamuk persoalan yang meyerbu bangsa kita.
Sebagai agent of founding, pemuda tidak hanya turut serta dalam proses pembangunan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana pemuda mampu melakukan kontrol kebijakan kepada pemerintah. Ini karena, pemuda merupakan penyambung lidah dan aspirasi yang langsung datang dari masyarakat.
Karena itu, dibutuhkan suatu bimbingan khusus untuk memberikan penanaman pendidikan tentang kepemimpinan kepada pemuda. Strategi ini, diharapkan akan mampu memunculkan secercah harapan demi terbentuknya kepemimpinan bangsa yang brilian dan cerdas dalam mengatasi setiap persoalan yang menyangkut masa depan bangsa ini.

[1] Tulisan ini adalah diajukan untuk mengikuti lomba karya tulis tingkat nasional.
[2] Mohammad Takdir Ilahi, Mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Jogja.
[3] Mujab Mahalli, (ed.), Wakil Rakyat Presiden Pilihanku: Visi Kepemimpinan Politik Santri 2004, (Bandung: Qirtas, 2003), hlm. 7.
[4] House, R.J, Theory of Charismatic Leadership, (Carbondale: Southern Illinois University Press, 1977), hlm.189 – 207.
[5] Burns, J.M., Leadership, (New York: Harper and Row Domingo, 1978), hlm. 234.
[6] Paul Hersey & Kenneth H. Blanchard, Management of Organizational Behavior; Utilizing Human Resources, (New Jersey: Prentice Hall Inc, 1998), hlm. 231.
[7] House, Theory of Charismatic Leadership…, hlm. 124.
[8] Zaki Khairul Anam, “Kepemimpinan Pemuda”, dalam Jawa Pos, 21 April 2007
[9] Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 219.