Kamis, 23 April 2009

Membendung ketidakadilan Gender, Meretas Kesadaran Perempuan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Minimnya keterlibatan perempuan dalam ranah publik, menurut saya tidak serta hanya berkutat pada persoalan budaya patriarki yang mendarah daging sampai zaman sekarang. Tetapi, yang paling dominan adalah terkait dengan persoalan wacana gender yang dicetus kaum perempuan sendiri dalam rangka menyuarakan kesetaran, hak-hak, kebebasan, dan keadilan perempuan.
Wacana gender pada gilirannya telah mengkungkung batasan perempuan dalam mengembangkan potensi dan skill-nya yang berkembang. Karena yang ada dalam wacana tersebut, adalah perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan, hingga wacana tentang kesetaran yang kemudian disuarakan.
Dalam konteks ini, gender tidak hanya dipahami sebagai sebuah perbedaan secara biologis, melainkan mewabah pada persoalan perilaku, jenis pekerjaan, sifat-sifat umum laki-laki dan perempuan, dan perbedaan lain yang bukan kodrat alamiah seorang perempuan.
Dalam pandangan saya, ada perbedaan esensial antara yang kodrati dengan yang bukan kodrati (social contruction). Perbedaan perempuan dan laki-laki yang kodrati adalah perbedaan yang diberikan Tuhan, tanpa campur tangan dari manusia sekalipun. Dalam hal ini, perbedaan yang kodrati, hanya yang mencakup perbedaan organ atau anatomi tubuh. Itulah sebabnya, kenapa Nasarudin Umar, memaparkan bahwa secara biologis, ada yang bisa membedakan antara laki-laki dan perempuan, bahwa laki-laki memiliki sperma, penis, dan lain-lain, sedang perempuan memiliki vagina, ovum, dan alat-lat reproduksi. Sedangkan perbedaan lainnya, khusus yang menyangkut peran dan posisi perempuan di masyarakat, melibatkan campur tangan manusia.
Untuk Lebih jelasnya, kita mesti tahu apa itu gender? Sejatinya, kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”. Dalam “Women’n Studies Encylopedia”, dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang beruapa membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Dari konsep gender inilah, melahirkan ketidakadilan gender bagi perempuan secara keseluruhan. Di mana konsep gender di sini, menurut saya memberikan kesenjangan dan ketimpangan bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam ranah publik, karena substansinya dari konsep ini adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik ditinjau dari segi peran, perilaku, pemikiran dan perbedaan lain yang merugikan bagi perempuan.
Sejalan dengan konsep itu, maka ketidakdilan gender bagi perempuan perlu dibendung bahkan kalau bisa dihapus dalam konteks kehidupan sosial. Tak heran, kalau Sinta Situmorang, mencita-citakan agar ketidakadilan gender dibendung dari permukaan.
Pertama, subordinasi. Kita tahu, bahwa subordinasi sangat terkait dengan kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Misalnya ada anggapan, bahwa perempuan emosional dan irasional yang menyebabkan perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.
Kedua, marginalisasi. Marginalisasi ini, sangat terkait dengan pemiskinan perempuanan akibat penggusuran, pembangunan, tafsir agama, dan kebijakan pemerintah.
Ketiga, stereotip. Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya, stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan.
Ketika ketidakadilan gender mampu dibendung dalam konteks kehidupan, maka kesadaran perempuan untuk terjun langsung dalam ranah publik perlu diberdayakan. Kesadaran akan ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakadilan sungguh telah menjadi polemik tersendiri bagi perjuangan kaum perempuan di tanah air. Karena di satu sisi, perempuan dihadapkan pada suatu sistem yang sedemikian lama mengakar dan menjadi budaya paternalistik bagi kaum perempuan.
Meretas kesadaran perempuan dalam ketidakadilan gender, adalah salah satu upaya untuk membangkitkan gerakan-gerakan perempuan yang dapat mengantarkannya menjadi pemimpin di masa depan. Kesadaran di sini, dapat menjadi bekal bagi kaum perempuan untuk meningkatkan potensi dirinya agar bisa berkembang dan diharapkan mampu membangun kepemimpinan yang baik (good leadership) ketika terjun langsung dalam ranah publik.
Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya partisipasi perempuan dalam ranah publik, perlu disadari sebagai bentuk apresiasi positif dari kaum perempuan itu sendiri, seiring dengan adanya jalur penyadaran gender yang sangat terkait dengan posisi dan partisipasi perempuan dalam menuangkan ide-ide briliannya bagi kemajuan masa depan bangsa.
Jalur-jalur penyadaran gender yang diorientasikan pada partisipasi perempuan tidak serta merta akan berhasil kalau sosialisasi akan penyadaran gender tidak berjalan optimal. Ini disadari, karena penyedaran gender bagi perempuan membutuhkan waktu yang agak lama sebagai bagian dari pengenalan akan pembebasan dan pemberdayaan terhadap perempuan yang terkucilkan dalam ranah publik. Untuk itu, penyadaran gender, menjadi hal yang sangat penting untuk membendung ketidakadilan yang mengeksploitasi dan mendiskriminasi keberadaan perempuan, baik dalam ranah publik maupun dalam ranah domistik.
Berbagai problem yang menghantui perempuan di atas, tentu saja tidak bisa lepas dari sindrom ketidakadilan gender yang terus menerus mewarnai perjalanan hidup perempuan. Di sadari atau tidak, perempuan telah terkungkung oleh konsep gender sendiri, yang pada gilirannya berdampak pada ketimpangan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Untuk itulah, saya mempunyai harapan agar ketidakdilan gender terlebih dahulu dibendung hingga kemudian membangkitkan kembali semangat kaum perempuan agar menyadari bahwa dirinya dalam pasungan kaum laki-laki.

Tidak ada komentar: