Kamis, 28 Mei 2009

Benarkah Facebook Haram?


Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*

Berkembangnya Facebook akhir-akhir ini, seolah-olah telah melahirkan dunia baru (new world) bagi perjalanan komunikasi manusia. Betapa tidak, dengan Facebook, manusia dengan mudah berkomunikasi dengan sejawatnya tanpa hambatan apa pun. Bisa dikatakan, bahwa saat ini ummat manusia telah sampai pada penjajahan global, sebuah petualangan jagat alam raya maya yang melampaui realitas.

Fenomena ini, oleh Erich Fromm (1977), disebut dengan hiperrealitas (hyperreality) atau sebuah realitas virtual (virtual reality). Dengan kata lain, bahwa perkembangan tekonologi komunikasi (apalagi Facebook) telah memungkinkan manusia hidup dalam dunia yang disebut ”desa global (global village). Sebuah dunia yang tak lebih besar dari layar kaca atau sebuah disket dengan perangkat lunaknya yang mampu mengkalkulasi, memproduksi, dan me-replay segala bentuk komunikasi media tersebut.

Kehadiran Facebook telah menjadi fenomena tersendiri bagi kecanggihan teknologi komunikasi yang berkembang pesat saat ini. Oleh sebab itu, muncul berbagai harapan, euforia, dan optimisme dalam menyambut datangnya sebuah era baru (new age) yang tidak terbungkus oleh sekat-sekat geografis, ideologis, dan batasan-batasan normatif-etis dalam menjelajahi dunia realitas. Realitas virtual inilah, yang akan memberikan jaminan yang lebih dari sekedar ”nihilisme” atau ”realitas kosong” (vacum reality) untuk memenuhi hasrat utilitarian manusia. Utilitarianisme adalah suatu sikap yang menunjukkan bahwa kebenaran dan kesalahan ditentukan oleh banyaknya kesenangan dan ketidaksenangan yang diakibatkannya. (Astar Hadi, 2005).
Menggugat Fatwa Haram Facebook

Ketika Facebook menjadi bagian dari realitas virtual, ketika itu pula Facebook dijadikan sebagai lompatan baru dalam menjejalahi jaga alam semesta tanpa batas dan sekat. Namun, dibalik kecanggihan Facebook, ternyata menimbulkan resistensi dari banyak kalangan sehingga muncullah fatwa haram terkait dengan penggunaan Facebook.

Beberapa hari ini, kita memang dikejutkan dengan berita yang cukup menggemparkan khalayak ramai terkait dengan fatwa haram facebook. Keputusan mengharamkan Facebook, tidak lepas dari kegelisahan sebagian kalangan yang sangat terganggu dengan munculnya media komunikasi tersebut.

Sebagai salah seorang pengguna Facebook, saya merasa terganggu dengan pemberitaan dan keputusan pengharaman Facebook. Betapa tidak, keputusan tersebut secara faktual tidaklah rasional, karena hanya mengacu pada dampak negatif yang ditimbulkan oleh media Facebook. Kalau kita bercermin diri, semua media yang berkembang saat ini bisa saja memunculkan hal-hal yang negatif.

Saya menyadari, bahwa fatwa haram ini tidak berlandaskan pada keputusan yang matang, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan pertentangan yang sangat sengit antara banyak kalangan. Seharusnya, kita harus melihat secara cermat legitimasi keputusan ini dengan mengacu pada pertimbangan kesepakatan untuk memutuskan kepada khalayak ramai. Hal ini disebabkan, keputusan yang berhaluan kontraproduktif tanpa persetujuan dari pihak yang berkompeten akan menimbulkan resistensi yang kuat di antara kalangan yang tidak setuju dengan pengharaman ini.

Keputusan mengharamkan Facebook, bagi saya, cukup mengejutkan. Kalau memang MUI berkomitmen untuk mengharamkan Facebook, kenapa dari dulu tidak mengharamkan jaringan penggunaan internet, Hp, blogs, maupun friendster. Ini karena, media tersebut juga berpotensi mengacaukan moralitas dan spiritualitas anak bangsa saat ini.

Menurut hemat saya, apa pun media komunikasi yang digunakan, kalau disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab pasti akan menimbulkan dampak negatif bagi dirinya dan orang lain. Jadi, tergantung pada keperibadian dan sikap masing-masing individu dalam memakai segala kecanggihan komunikasi di era kontemporer sekarang ini. Tidak ada salahnya, kalau kita bercermin diri, bahwa dibalik semua yang kita punya tidak jarang juga akan memunculkan nilai-nilai negatif.

Untuk memahamai persoalan pengharaman Facebook, kita terlebih dahulu harus menganalisis sisi positif yang ditimbulkan dari media tersebut. Pertama, bahwa Facebook dapat mempermudah akses kita untuk mendapatkan teman baru. Melalui teman baru itu kita bisa saling tukar informasi dan berita-berita penting yang dapat kita ambil sisi positifnya.

Kedua, Facebook, bagi saya, sangat bernilai positif karena sebagai penulis saya berkesempatan untuk mengenal lebih jauh para penulis terkanal. Terus terang, dengan kehadiran Facebook, saya bisa bertatap muka dengan penulis idola yang saya anggap mampu menjadi inspirator dalam mengembangkan dunia tulis menulis. Ketika itulah, saya sadar bahwa Facebook dapat memberikan inspirasi positif bagi pengembangan wawasan saya ketika saya lagi tidak punya ide untuk menulis. Sungguh, sangat beruntung saya bisa menggunakan dan memanfaatkan media komunikasi seperti Facebook.

Ketiga, kehadiran Facebook, bagi saya, memunculkan semangat dan kepercayaan diri yang baru, karena ketika Facebook belum tampak di tengah-tengah kita, saya sempat putus hubungan dengan teman lama saya yang sangat berpengaruh dalam perjalanan masa depan saya. Kebetulan, sejak SMA, saya belum pernah berkomunikasi dan bertemu langsung dengan teman lama saya tersebut. Dan, ketika Facebook muncul ke permukaan, maka saya berkesempatan untuk mengetahui keberadaan teman saya tersebut.

Kembali pada haram tidaknya Facebook, kita memang harus berkeyakinan bahwa Facebook lebih banyak sisi positifnya ketimbang sisi negatifnya. Seharusnya, tidak perlu ada keputusan untuk mengharamkan penggunaan Facebook, karena bertebarnya maksiat dan ambruknya moralitas generasi muda tidak semata-mata disebabkan oleh kehadiran Facebook.
Kalau kita bercermin diri, ternyata dalam setiap gerak-gerik kita pasti menimbulkan maksiat atau pun sarana untuk melakukan hal-hal yang dilarang agama. Kaki dan tangan kita, kalau tidak dikendalikan dengan landasan moral dan agama selalu akan memacu kita untuk melakukan tindakan amoral.

Suatu hal yang perlu kita ketahui, bahwa ketika ada orang yang memasukkan foto-foto porno, maka dengan sendiri pengelola Facebook akan meng-upload-nya, karena memang Facebook bukan media komunikasi pribadi, tetapi sebagai media umum yang bisa dimasuki oleh siapa saja. Jadi, orang akan mempertimbangkan untuk memasukkan foto-foto porno, karena ketika sudah di-share foto-foto tersebut, maka orang itu akan malu dengan sendirinya.

Oleh karena itu, MUI tidak perlu memberikan keputusan fatwa haram terhadap Facebook, karena hanya akan menimbulkan konflik dan pertentangan baru di anatara banyak kalangan. Kalau pun nantinya, MUI resmi mengumumkan keputusan akan keharaman penggunaan Facebook, maka kalangan yang tidak setuju akan menuntut pengharaman media-media lain yang sudah terlebih dahulu berkembang pesat di kalangan masyarakat.

*Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.

Kamis, 14 Mei 2009

Diaspora Kaum Muda dan Kepemimpinan Kharismatik[1]

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi[2]

Pendahuluan

Sampai kapanpun, peran pemuda dalam sejarah bangsa Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan bagi masa depan bangsa. Karena eksistensinya, begitu sangat vital dalam memperbaiki kondisi bangsa yang sedang mengalami krisis kepemimpinan.
Pemuda diharapkan mampu menegakkan sendi-sendi kehidupan yang telah rapuh diterpa badai kehancuran. Kecerdasan pemuda dinantikan untuk membangun peradaban yang telah jatuh tersungkur dalam jurang kemerosotan akhlaq. Sikap kritis dan kepekaan pemuda dibutuhkan untuk mendirikan bangunan kebangsaan yang kokoh.
Peran yang disandang pemuda, sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen kontrol sosial (agent of control social) masih sangat efektif dan kreatif dalam memposisikan peran pemuda di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, peran pemuda mempunyai kekuatan untuk melakukan gerakan-gerakan kemajuan (progress movement) yang dapat memberikan masukan konsktruktif kepada pemerintah yang tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Dengan peran sentral pemuda, segala kebijakan yang berkenaan dengan masa depan bangsa dan kesejahteraan masyarakat akan tetap terkontrol. Hingga, pada akhirnya memunculkan gagasan balance of power yang terjadi antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan dengan rakyat sebagai pengontrol segala kebijakan.
Hal ini dapat kita lihat dari kasus jatuhnya Soekarno yang ditumbangkan oleh gerakan pemuda, yang tergabung dalam satuan aksi bersama pada tahun 1966. Begitu pula dengan tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998, yang tidak lepas dari aksi pemuda waktu itu. Setelah pemerintahan Soeharto tumbang dari tampuk kekuasan, maka dalam era reformasi sekarang, peran dan tanggung jawab pemuda semakin besar berada dipundak mereka.
Dalam konteks masa kini, problem kebangsaan yang dihadapi bangsa akan semakin krusial. Saya menyadari, bahwa bangsa ini telah mengalami krisis kepemimpinan yang cukup mempengaruhi cita-cita luhur bangsa kita tercinta. Dalam konteks ini, krisis kepemimpinan adalah terletak pada minimnya pemimpin masa depan yang berorientasi global dan berjiwa revolusioner serta memiliki semangat kebangsaan yang sangat tinggi.
Menyikapi persoalan demikian, pemuda dinantikan menjadi ”juru penyelamat” bangsa dari segala keterpurukan dan kehancuran, karena generasi tua yang diharapkan ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk membawa perubahan berarti bagi perbaikan bangsa.
Dalam hal ini, ada beberapa persoalan yang dihadapi pemuda, sebagai tantangan yang sangat kompleks dan penuh dengan nuansa kebebasan. Pertama, lahirnya beragam organisasi kepemudaan yang ada di negeri ini, sehingga memunculkan suatu perbedaan ideologi kebangsaan. Munculnya beragama organisasi kepemudaan, bukan menjadi jaminan ideal terciptanya suatu bangunan kebangsaan yang kokoh, malah justru akan semakin memperlebar jarak dan hubungan harmonis antar elemen pemuda.
Kedua, perbedaan ideologi kader organisasi yang tidak tuntas. Menurut hemat saya, persoalan ini mesti mengacu pada upaya pemberdayaan masing-masing individu yang berbeda ideologi. Maka, tak berlebihan, kalau kita perlu menyiapkan kader untuk terjun langsung dalam membela dan memimpin masyarakat dengan kedalaman kompetesinya, sehingga suara-suara pembelaan akan lebih berbobot. Jangka pendeknya, kita hendak menyiapkan organisasi atas realitas kebijakan yang semakin tajam, intelek, elegan, dan sekaligus solutif.
Meminjam istilahnya Hermawan Ibnu Nurdin (2003), kita perlu ”mensinergikan logika otak para intelektual dengan logika perut rakyat”. Pada level tertinggi dari proses kaderisasi adalah membentuk kader yang memiliki kepahaman pembuatan dan pengelolaan rencana strategis pembangunan negara dalam bidang-bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan teknologi.
Ketiga, lambatnya regerenerasi kepemimpinan. Persoalan ini sebenarnya terletak pada implikasi pada pola patronase dan senioritas organisasi kepemudaan sehingga pada gilirannya memunculkan sikap introvert dan perasaan mender dari generasi yang lebih muda, karena memang tidak memiliki kesempatan dan ruang untuk berekspresi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki mereka.
Mengutip tulisan Soe Hak Gie, seorang tokoh pemuda Indonesia tahun 1960-an yang banyak terlibat dalam aksi-aksi mahasiswa ketika menjatuhkan Presiden Soekarno pada waktu itu, Ia berkata ”Mahasiswa Indonesia berperan ibaratnya seorang resi (guru agama yang ahli bela deri), atau seorang sheriff yang turun ke kota untuk menyelamatkan rakyatnya ketika bandit-bandit datang dan mengancam keselamatan kota. Setelah bandir-bandit tersebut tewas atau melarikan diri, maka resi atau sheriff pergi meninggalkan kota tersebut dan kembali ke tempat tinggalnya”.
Kutipan di atas, sudah membuktkan bahwa eksistensi pemuda dalam sejarah panjang bangsa Indonesia sangat berperan penting dan vital dalam mengawal segala gerak-gerik kebijakan politik yang dimunculkan pemerintah. Dengan kata lain, pemuda dituntut untuk berpikir kritis untuk menghadapi segala tindakan yang bertentangan dengan hati nurani mereka.


Pemuda Sebagai Pemimpin Masa Depan
Kepemimpinan yang prima takkan pernah tercapai, kecuali dengan menyediakan ruang hidup bagi jejaringan pemuda. Kepemimpinan yang dimaksud penulis adalah kemampuan profesional pemuda dalam membangun masa depan bangsa ke arah kemajuan yang siginifikan. Karena masa depan bangsa ke depan sangat bergantung kepada potensi yang dimiliki pemuda demi kemajuan peradaban bangsa yang gemilang.
Membangun pemuda yang berjiwa masa depan, memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Dalam hal ini, dibutuhkan adanya bimbingan kepada pemuda untuk mengembangkan segenap potensinya yang berkembang. Sehingga, pada akhirnya dihasilkan pempimpin masa depan yang mampunyai landasan moral dan mampu memegang komitmen yang dijalaninya. Pemuda inilah yang diharapakan mampu membawa perubahan mendasar terhadap perbaikan kondisi bangsa Indonesia yang dilanda berbagai macam krisis dan persoalan krusial.
Melalui kepemimpinan pemuda ini, kita berharap bahwa masa deoan bangsa akan mengalami perubahan dan kemajuan, apalagi kita masih dalam peringatan kebangkitan nasional, dan momentum ini harus menjadi cambuk bagi generasi muda untuk terus berjuang seperti yang dilakukan para pahlawan kita masa dulu.
Dengan demikian, pembentukan pemuda berjiwa pemimipin masa depan membutuhkan pemberdayaan secara pikiran dan mental yang terdapat dalam jiwa pemuda. Karenanya, setiap pribadi sebagai pemuda harus menyadari akan kemampuannya, atau dalam istilahnya Pramodya “kita harus adil dalam pikiran”.

Kepemimpinan Kharismatik
Pada titik inilah, peran sentral pemuda dihadapkan pada satu tantangan yang luar biasa untuk membangun gaya kemempininan yang bisa diterima oleh masyarakat luas. Ini karena, kepemimpinan pemuda sangat menentukan terhadap arah dan masa depan bangsa ke depan, sehingga mau tidak mau mereka harus bisa menunjukkan performa yang baik (god performance) dalam memimpin suatu organisasi tertentu. Dengan kata lain, pemuda dituntut untuk membangun citra positif yang bisa membawanya pada satu posisi yang strategis dalam suatu pemerintahan.[3] Citra positif tersebut perlu didukung dengan kemampuan dan kapabilitasnya dalam memberikan pengaruh kepada masyarakat, sehingga apa yang disampaikan dapat diterima dengan baik.
Di tengah krisis kepemimpinan yang melanda bangsa kita, pemuda menjadi taruhan untuk menuntaskan persoalan tersebut. Apalagi, kita berada pada momentum pilpres yang merupakan ajang pertarungan untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Di sinilah peran pemuda dipertaruhkan untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa pemuda bisa menjadi pemimpin masa depan. Pada konteks ini, saya berupaya mengkaji kapasitas pemuda dalam membangun sinergitas dan loyalitas terhadap perjalanan bangsa ini ke depan. Artinya, apakah seorang pemuda juga mempunyai wibawa dan kharisma untuk memimpin bangsa ini yang sangat besar? Bila dianggap memiliki kharisma, apa bekal yang bisa ditunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka pantas menjadi pemimpin sebuah negara?
Ada kecenderungan khusus yang perlu diteliti lebih mendalam kaitannya dengan kampanye debat politik dari para calon pasangan presiden dan wakil presiden di Indonesia, yaitu persoalan kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership) yang merupakan konsep politik. Hal ini penting mengingat Indonesia merupakan negara yang baru mau menerapkan konsep demokrasi secara lebih baik. Kepemimpinan kharismatik di negara-negara berkembang menjadi salah satu faktor khusus yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan calon presiden.
Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis. Dalam konteks ini, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu adanya seseorang yang memiliki bakat yang luarbiasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luarbiasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.
Banyak teoritisi melakukan penelitian tentang kekuasaan kharismatik (charismatic authority). House (1977) [4] menyatakan bahwa prilaku pemimpin sangat berhubungan dengan kepemimpinan kharismatik, sifat-sifat personal dan variabel-variabel lain yang bersifat situasional. Meskipun ia melakukan penelitiannya pada hubungan diadik antara seorang pemimpin dan seorang pengikut, namun teori yang dipublikasikan dengan teori kepemimpinan kharismatik pada tahun 1976 itu memberikan andil besar pada pengembangan teori berikutnya.
Pada perkembangan selanjutnya, Burn (1978)[5] menyatakan bahwa ”kepemimpinan sebagai pemimpin dan pengikut yang melakukan tujuan-tujuan yang merepresentasikan nilai-nilai dan motivasi-motivasi dari mereka. Kepemimpinan kharismatik memberikan gerak kepada pemimpin untuk melakukan dan menerapkan kepemimpinannya sesuai dengan nilai-nilai dan motivasi para pengikutnya”.
Dalam konteks lain, kepemimpinan kharismatik didasarkan atas prilaku dan penerimaan dari pengikutnya sebagai pemimpin yang kharismatik. Menurutnya ada lima dimensi prilaku yang harus dimiliki seorang pemimpin kharismatik, yaitu: peduli terhadap konsteks lingkungannya, memiliki strategi dan artikulasi visi, peduli terhadap kebutuhan pengikutnya, memiliki personal risk, serta memiliki prilaku yang tidak konvensional.[6]
Tipe kepemimpinan kharismatik ini adalah tipe kepemimpinan yang dipandang sulit untuk dianalisis, karena literatur yang ada tentang kepemimpinan kharismatik tidak memberikan petunjuk yang cukup. Artinya, tidak banyak hal yang dapat disimak dari literatur yang ada tentang kepemimpinan kharismatik ini.Memang ada karaktristiknya yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang kharismatik adalah seorang yang dikagumi oleh banyak pengikut, meskipun para pengikutnya tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara kongkrit, mengapa orang (pemimpin kharismatik) tersebut dikagumi.
Seorang pemimpin kharismatik, penampilan fisik ternyata bukan menjadi ukuran yang berlaku umum, karena ada pemimpin yang dipandang sebagai pemimpin kharismatik, yang kalau hanya dilihat dari penampilan fisiknya saja sebenarnya tidak atau kurang mempunyai daya tarik. Usia pun tidak selalu dapat dijadikan ukuran.
Sejarah telah membuktikan bahwa seorang yang berusia relatif muda pun mendapat julukan sebagai pemimpin yang kharismatik. Jumlah harta yang dimilikinya pun tampaknya tidak bisa digunakan sebagai ukuran. Ada orang yang tergolong sebagai pemimpin yang kharismatik ternyata dari sudut kebendaan ia tergolong miskin Mungkin karena kekurangan pengetahuan untuk menjelaskan sesuai dengan kreteria ilmiah mengenai kepemimpinan yang kharismatik, maka orang akhirnya cenderung mengatakan bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki “kekuatan ajaib” yang tidak mungkin dijelaskan secara ilmiah, yang menjadikan orang-orang tertentu itu dipandang sebagai pemimpin yang kharismatik.
Sungguh sangat menarik untuk memperhatikan bahwa para pengikut seorang yang kharismatik tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap dan perilaku serta gaya yang digunakan oleh pemimpin yang dikutinya itu. Bisa saja seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang otokratik atau diktatorial, para pengikutnya tetap saja setia kepadanya. Mungkin seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang paternalistik, tetapi ia tetap tidak kehilangan daya pikatnya. Karakter Pemimpin Khasismatik
House, menjelaskan bahwa kepemimpinan kharismatik dengan mengidentifikasikan tiga karakteristik pribadi, yaitu: kepercayaan diri yang luar biasa tinggi, kekuasaan, dan teguh dalam keyakinan.[7] Dalam konteks ini, ia mengemukakan bahwa pimpinan kharismatik mempunyai tujuan ideal yang ingin dicapai, memiliki komitmen pribadi yang kuat pada tujuan, tegas dan percaya diri, serta sebagai agen perubahan radikal, bukan manajer dari status quo.
Maka, secara rinci dapat dijelaskan bahwa, seorang pemimpin yang kharismatik memiliki karakterisk sebagai berikut: Pertama, percaya pada diri, artinya meraka benar-benar percaya akan kemampuan diri mereka sendiri.
Kedua, memiliki suatu misi yang merupakan tujuan ideal yang mengajukan suatu masa depan yang lebih baik daripada status quo. Maka makin besar kemungkinan bahwa para pengikut akan menghubungkan visi yang luar biasa itu pada si pemimpin.
Ketiga, memiliki kemampuan untuk mengungkap visi sejelas mungkin, artinya mampu memperjelas dan menyatakan visi dalam kata-kata yang dapat difahami orang lain. Artikulasi ini menunjukkan suatu pemahaman akan kebutuhan para pengikut, dan karenanya akan bertindak sebagai suatu kekuatan motivasi.
Keempat, memiliki keyakinan kuat mengenai visi, artinya pemimpin kharismatik harus mempunyai komitmen yang kuat dan bersedia menanggung resiko yang tinggi, mengeluarkan biaya yang tinggi dan melibatkan dan berkorban untuk mencapai visi tersebut.
Kelima, perilaku yang di luar aturan, artinya mereka dengan kharisma ikut serta dalam perilaku yang dipahami sebagai hal yang baru, tidak konvensional dan berlawanan dengan norma-norma. Maka bila berhasil, perilaku ini menimbulkan kejutan dan kekaguman para pengikut.
Kelima, kepekaan terhadap lingkungan, artinya pemimpin kharismatik mampu membuat penilaian yang realistis terhadap kendala lingkungan dan sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan.

Pemuda dan Pembentukan Kepemimpinan Kharismatik
Fenomena kemimpinan pemuda yang kelihatan instan dan “asal jadi”, sesunguhnya bermuara pada penyebab gagalnya menyiapkan generasi muda terkini dalam menyongsong masa depan. Yang terkait disini adalah krisis keteladanan bangsa dari “kaum tua” sekaligus masih peliknya kondisi pendidikan Indonesia.
Dalam hal ini, Zaky Khairul Anam,[8] memberikan tawaran solusi yang sangat brilian kepada kita tentang strategi yang dapat dilakukan untuk membangun pemuda berjiwa pemimpin masa depan dan juga pemuda yang visioner, berani, pantang menyerah, dan tak hirau dengan gemerlapnya kehidupan dan popularitas.
Pertama, penanaman pendidikan kepemimpinan pemuda secara rasional yang bersifat nasionalis, pluralis dan strategis dalam pelbagai aspek kehidupan bangsa. Penanaman pendidikan kepemimpinan di sini berupa pelatihan dan pengembangan kepada kaum muda untuk mematangkan kecakapan kepemimpinan (leadership skill) yang lebih progresif dan profesional.
Kedua, membangun kematangan berpikir. Format kepemimpinan yang harus diwujudkan, mestinya sesuai dengan “jiwa zaman” yang membangun sistem pribadi-pribadi yang unggul, asketik, arif, dan berlandaskan pada moral etik di atas eksklusivisme primordialistik.
Membangun sistem pribadi ini, pada akhirnya menjadi strategi yang ideal untuk membentuk pemuda bervisi masa depan dan mampu membangun totalitas kehidupan yang bermuara pada nilai-nilai pribadi yang dikedepankan. Sehingga, terbentuklah pribadi-pribadi exelance yang mampu secara intelektual, emosional dan spritual.
Ketiga, membangun regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan yang berpijak pada fair-competition. Yang dimaksud fair-competition di sini adalah memberikan kesempatan kepada generasi muda yang memiliki kapabiitas dan intensitas yang memadai. Hal ini, bertujuan untuk membentuk generasi siap pakai dan mampu secara profesional mendayagunakan segenap potensinya yang berkembang.
Keempat, membangun pemuda yang berjiwa kritis dan konstruktif terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Pembangunan sikap seperti ini, dalam pandangan Yudi Latif (2005)[9] memerlukan terbentuknya komunitas dan barisan yang cinta khazanak keilmuan dalam samudra respublica literaria. Yakni, generasi yang senantiasa belajar segala ilmu pengetahuan dengan memuliakan pikiran sebagai manusia mulia. Hingga saatnya benih-benih kaum intelegensia dan intelektual hadir menuntun peradaban bangsa dengan kitab-kitab yang mencerahkan bangsa.

Penutup
Pemuda adalah agen perubahan (agent of change) dan kontrol sosial (social control), yang diharapkan mampu mengoptimalisasikan segenap potensinya yang berkembang ke arah perubahan fundamental, demi memperkuat kokohnya integritas bangsa di tengah kecamuk persoalan yang meyerbu bangsa kita.
Sebagai agent of founding, pemuda tidak hanya turut serta dalam proses pembangunan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana pemuda mampu melakukan kontrol kebijakan kepada pemerintah. Ini karena, pemuda merupakan penyambung lidah dan aspirasi yang langsung datang dari masyarakat.
Karena itu, dibutuhkan suatu bimbingan khusus untuk memberikan penanaman pendidikan tentang kepemimpinan kepada pemuda. Strategi ini, diharapkan akan mampu memunculkan secercah harapan demi terbentuknya kepemimpinan bangsa yang brilian dan cerdas dalam mengatasi setiap persoalan yang menyangkut masa depan bangsa ini.

[1] Tulisan ini adalah diajukan untuk mengikuti lomba karya tulis tingkat nasional.
[2] Mohammad Takdir Ilahi, Mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Jogja.
[3] Mujab Mahalli, (ed.), Wakil Rakyat Presiden Pilihanku: Visi Kepemimpinan Politik Santri 2004, (Bandung: Qirtas, 2003), hlm. 7.
[4] House, R.J, Theory of Charismatic Leadership, (Carbondale: Southern Illinois University Press, 1977), hlm.189 – 207.
[5] Burns, J.M., Leadership, (New York: Harper and Row Domingo, 1978), hlm. 234.
[6] Paul Hersey & Kenneth H. Blanchard, Management of Organizational Behavior; Utilizing Human Resources, (New Jersey: Prentice Hall Inc, 1998), hlm. 231.
[7] House, Theory of Charismatic Leadership…, hlm. 124.
[8] Zaki Khairul Anam, “Kepemimpinan Pemuda”, dalam Jawa Pos, 21 April 2007
[9] Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 219.

Kamis, 23 April 2009

Membendung ketidakadilan Gender, Meretas Kesadaran Perempuan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Minimnya keterlibatan perempuan dalam ranah publik, menurut saya tidak serta hanya berkutat pada persoalan budaya patriarki yang mendarah daging sampai zaman sekarang. Tetapi, yang paling dominan adalah terkait dengan persoalan wacana gender yang dicetus kaum perempuan sendiri dalam rangka menyuarakan kesetaran, hak-hak, kebebasan, dan keadilan perempuan.
Wacana gender pada gilirannya telah mengkungkung batasan perempuan dalam mengembangkan potensi dan skill-nya yang berkembang. Karena yang ada dalam wacana tersebut, adalah perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan, hingga wacana tentang kesetaran yang kemudian disuarakan.
Dalam konteks ini, gender tidak hanya dipahami sebagai sebuah perbedaan secara biologis, melainkan mewabah pada persoalan perilaku, jenis pekerjaan, sifat-sifat umum laki-laki dan perempuan, dan perbedaan lain yang bukan kodrat alamiah seorang perempuan.
Dalam pandangan saya, ada perbedaan esensial antara yang kodrati dengan yang bukan kodrati (social contruction). Perbedaan perempuan dan laki-laki yang kodrati adalah perbedaan yang diberikan Tuhan, tanpa campur tangan dari manusia sekalipun. Dalam hal ini, perbedaan yang kodrati, hanya yang mencakup perbedaan organ atau anatomi tubuh. Itulah sebabnya, kenapa Nasarudin Umar, memaparkan bahwa secara biologis, ada yang bisa membedakan antara laki-laki dan perempuan, bahwa laki-laki memiliki sperma, penis, dan lain-lain, sedang perempuan memiliki vagina, ovum, dan alat-lat reproduksi. Sedangkan perbedaan lainnya, khusus yang menyangkut peran dan posisi perempuan di masyarakat, melibatkan campur tangan manusia.
Untuk Lebih jelasnya, kita mesti tahu apa itu gender? Sejatinya, kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”. Dalam “Women’n Studies Encylopedia”, dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang beruapa membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Dari konsep gender inilah, melahirkan ketidakadilan gender bagi perempuan secara keseluruhan. Di mana konsep gender di sini, menurut saya memberikan kesenjangan dan ketimpangan bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam ranah publik, karena substansinya dari konsep ini adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik ditinjau dari segi peran, perilaku, pemikiran dan perbedaan lain yang merugikan bagi perempuan.
Sejalan dengan konsep itu, maka ketidakdilan gender bagi perempuan perlu dibendung bahkan kalau bisa dihapus dalam konteks kehidupan sosial. Tak heran, kalau Sinta Situmorang, mencita-citakan agar ketidakadilan gender dibendung dari permukaan.
Pertama, subordinasi. Kita tahu, bahwa subordinasi sangat terkait dengan kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Misalnya ada anggapan, bahwa perempuan emosional dan irasional yang menyebabkan perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.
Kedua, marginalisasi. Marginalisasi ini, sangat terkait dengan pemiskinan perempuanan akibat penggusuran, pembangunan, tafsir agama, dan kebijakan pemerintah.
Ketiga, stereotip. Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya, stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan.
Ketika ketidakadilan gender mampu dibendung dalam konteks kehidupan, maka kesadaran perempuan untuk terjun langsung dalam ranah publik perlu diberdayakan. Kesadaran akan ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakadilan sungguh telah menjadi polemik tersendiri bagi perjuangan kaum perempuan di tanah air. Karena di satu sisi, perempuan dihadapkan pada suatu sistem yang sedemikian lama mengakar dan menjadi budaya paternalistik bagi kaum perempuan.
Meretas kesadaran perempuan dalam ketidakadilan gender, adalah salah satu upaya untuk membangkitkan gerakan-gerakan perempuan yang dapat mengantarkannya menjadi pemimpin di masa depan. Kesadaran di sini, dapat menjadi bekal bagi kaum perempuan untuk meningkatkan potensi dirinya agar bisa berkembang dan diharapkan mampu membangun kepemimpinan yang baik (good leadership) ketika terjun langsung dalam ranah publik.
Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya partisipasi perempuan dalam ranah publik, perlu disadari sebagai bentuk apresiasi positif dari kaum perempuan itu sendiri, seiring dengan adanya jalur penyadaran gender yang sangat terkait dengan posisi dan partisipasi perempuan dalam menuangkan ide-ide briliannya bagi kemajuan masa depan bangsa.
Jalur-jalur penyadaran gender yang diorientasikan pada partisipasi perempuan tidak serta merta akan berhasil kalau sosialisasi akan penyadaran gender tidak berjalan optimal. Ini disadari, karena penyedaran gender bagi perempuan membutuhkan waktu yang agak lama sebagai bagian dari pengenalan akan pembebasan dan pemberdayaan terhadap perempuan yang terkucilkan dalam ranah publik. Untuk itu, penyadaran gender, menjadi hal yang sangat penting untuk membendung ketidakadilan yang mengeksploitasi dan mendiskriminasi keberadaan perempuan, baik dalam ranah publik maupun dalam ranah domistik.
Berbagai problem yang menghantui perempuan di atas, tentu saja tidak bisa lepas dari sindrom ketidakadilan gender yang terus menerus mewarnai perjalanan hidup perempuan. Di sadari atau tidak, perempuan telah terkungkung oleh konsep gender sendiri, yang pada gilirannya berdampak pada ketimpangan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Untuk itulah, saya mempunyai harapan agar ketidakdilan gender terlebih dahulu dibendung hingga kemudian membangkitkan kembali semangat kaum perempuan agar menyadari bahwa dirinya dalam pasungan kaum laki-laki.

Muharram dan Egalitarianisme Sosial

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Setiap tanggal 1 Muharram, seluruh ummat Islam menyambut momen bersejarah ini dengan perasaan suka cita bercampur bahagia. Berbagai persiapan dilakukan, agar momen bersejarah ini tidak terlupakan begitu saja tanpa menghasilkan sesuatu yang bermakna dan bernilai dalam konteks kehidupan nyata.
Bulan Muharram adalah hari dimana Nabi Muhammad dan para Sahabatnya melaksanakan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Tujuan hijrah di sini adalah untuk menghindari perpecahan dan ancaman dari orang-orang kafir Quraish yang hendak mengancam keselamatan ummat Islam, terutama Nabi Muhammad sendiri. Hijrah bukan berarti lari dari persoalan yang mengancam, melainkan sebagai bentuk kecintaan Nabi kepada penduduk Mekkah. Di samping itu, Nabi tidak ingin pertumpahan darah selalu terjadi akibat orang Mekkah tidak menerima ajarannya yang bertentangan dengan keyakinan nenek moyang bangsa Arab.
Terlepas dari hal itu, pergantian tahun Baru Islam, tidak sekedar dimaknai sebagai momen menuju sejarah baru, akan tetapi harus dijadikan spirit untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Setiap momen sejarah dalam Islam, semestinya menjadi refleksi kritis untuk memperbaiki diri terhadap tindakan yang kita lakukan pada tahun sebelumnya. Dalam artian, momen tersebut tidak hanya dijadikan kenangan artifisial, namun yang lebih penting adalah bagaimanan membawa pencerahan dan perbaikan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Momentum Muharram, patut dijadikan kesempatan untuk berbenah diri. Berbenah dari segala sifat yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Mulai dari sifat angkuh, sombong, arogan, egois, dzalim, kikir, sampai pada sifat tidak mau peduli pada yang lemah, miskin, terbelakang, dan tergurus dari lingkungan mereka tinggal.

Kesalehan Sosial

Islam mengajarkan kepada kita agar cinta pada sesama, walaupun berbeda agama. Wujud cinta kita dapat diaktualisasikan dalam bentuk bantuan maupun dorongan moril yang bisa memperkuat mental orang-orang miskin. Kesadaran kita pada yang lemah, sangat diharapkan untuk menimalisir kemiskinan yang akut di negeri ini.
Di tengah problem kebangsaan yang menimpa negeri ini, mulai dari krisis keuangan global yang menghantam perekonomian Indonesia, semestinya kita memiliki sikap kepedulian dan kesadaran untuk memberikan sumbangsih pemikiran agar problem yang menimpa bangsa kita dapat diatasi dengan baik. Salah satu bentuk kepedulian itu adalah dengan menumbuhkan kesalehan sosial di antara sesama. Apalagi, kita berada ditengah momentum Muharram yang merupakan manifestasi nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam al-Qur’an.
Menurut Abdul Munir Mulkhan (2005), kesalehan sosial adalah suatu tindakan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas dasar kesadaran pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam kosa kata ”amal saleh”) merupakan implementasi keberimanan, pernyataan atau produk dari iman (percaya kepada Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar. Dengan kata lain, tindakan sosial yang kita lakukan, tidak saja bermanfaat bagi kebahagiaan orang lain, tapi juga kita akan mendapatkan balasan setimpal atas apa yang kita lakukan.
Kesalehan dalam bentuk materi dan dorongan moril merupakan salah satu bentuk kepedulian kita kepada sesama. Ajaran-ajaran keislaman yang kita ketahui, harus diwujudkan dalam bentuk nyata. Begitulah agama kita mengajarkan tentang pentingnya membantu yang lemah dan yang membutuhkan uluran tangan kita. Itulah sebabnya, kepedulian bukan saja berarti memberikan sebagian harta yang kita miliki, lebih daripada itu, kepedulian merupakan bagian dari jihad yang terselubung dalam konteks sosial.
Dalam konteks inilah, Islam selalu mewanti-wanti pada ummatnya agar menghindari tindakan represif kepada ummat yang lain. Sehingga, tak heran kalau Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap harkat kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan mengajarkan kepada kita agar berbelas kasihan pada kaum yang tertindas.

Humanisme Jihad: Cermin Egalitarianisme Sosial
Meminjam istilah Fauzan Shaleh (2006), kita harus berjihad melawan ketidakadilan yang mengkungkung ummat dari keterbelakangan, penindasan, diskriminasi, dan ”exploitation de’l homme par l’homme”. Termasuk jihad dalam konteks ini ialah kesediaan seseorang untuk tidak mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo, tetapi berjuang untuk membela kepentingan orang-orang lemah dan tertindas. Dengan kata lain, sikap keberimanan kita tidak saja dimaknai mempercayai Tuhan semata, melainkan juga kesatuan ummat manusia (the unity of mankind), yang tidak akan terwujud tanpa memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan sifat egalitarianisme sosial.
Pada titik inilah, makna substasial Muharram dapat kita rasakan melalui penghayatan dan refleksi kritis terhadap ajaran agama itu sendiri. Itulah mengapa, Bung Karno selalu mengatakan pentingnya mengobarkan api Islam, bukan abunya. Sebab ia melihat pentingnya esensi sebagai pesan universal dari konsep rahmatal lil a’lamin.
Oleh karenanya, di tengah bangsa yang sedang bergejolak, kita harus terus menerus menekankan betapa pentingnya kesadaran kemanusiaan sebagai timbal balik dari manifestasi ajaran Islam. Harus kita sadari, bahwa Nabi Muhammad memandang Islam sebagai agama humanis. Agama yang selalu menekankan dimensi kemanusiaan atau antroposentrik. Menurut Muhammad Sobari (2006), dalam ”Humanisme Beragama”, fungsi diturunkannya agama adalah demi kemaslahatan ummat manusia. Penegasan ini menurutnya, bukan berarti meninggalkan dimensi teosentrik, tapi teosentrik an-sich akan membuat agama semakin kering nilai dan jauh dari esensi awalnya.
Menyikapi demikian, menumbuhkan semangat keberagaman yang inklusif merupakan bentuk penghargaan terhadap ummat lain. Walaupun Islam sebagai agama inklusif, kita harus tetap menjaga otentitas nilai-nilai keislaman secara teguh dan meyakinkan. Itu artinya, kita mesti memiliki keteguhan iman yang kuat ketika harus bersinggungan dengan keimanan ummat lain di luar Islam.
Bagi ummat Islam, marilah kita tumbuhkan semangat ”keberimanan sosial” di tengah problem kebangsaan dan keagamaan yang dilanda berbagai persoalan. Kita harus tetap optimis, bahwa dalam pergantian tahun Islam ini, kita masih mempunyai kesempatan untuk berbenah diri menatap masa depan kehidupan yang bersifat egaliterianisme, di samping juga harus menjaga kerukunan antar ummat beragama. Selamat Tahun Baru 1430 Hijriah!

Mohammad Takdir Ilahi,
(Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Rabu, 22 April 2009

Ambivalensi Anggaran Pendidikan 20%

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Kemajuan pembangunan suatu bangsa, tidak bisa lepas dari kualitas pendidikan yang dihasilkan. Jika kualitas pendidikan anak didik tidak mampu diberdayakan dan ditingkatkan ke arah yang lebih menjanjikan, maka harapan untuk menciptakan generasi yang berkualitas hanya akan menjadi utopia belaka. Dengan kata lain, sektor pembangunan pendidikan niscaya menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan pengelola pendidikan dalam rangka mengoptimalkan potensi anak didik yang berkembang.
Memang harus diakui, problem pendidikan selalu menghiasi dinamika kemajuan suatu bangsa. Semisal, sarana dan prasarana, kualitas guru, kurikulum, dan anggaran pendidikan yang berbelit-belit. Problem anggaran pendidikan menjadi isu aktual yang kembali dimunculkan, mengingat realisasi anggaran untuk pendidikan masih belum mencapai target yang dicanangkan. Apalagi, dihadapkan pada persoalan sektor pendidikan yang terabaikan oleh pemerintah.
Jika realisasi anggaran pendidikan masih berbelit-belit, sangat mustahil bagi kita untuk memecahkan problem pendidikan yang akut, semisal pemberantasan buta huruf, maraknya anak putus sekolah, sekolah makin sulit dan mahal. Hal ini bisa kita buktikan, pada tahun 2007, SBY-JK hanya mengalokasikan anggaran sektor pendidikan sebesar Rp 43,489 Triliun. Jumlah itu hanya 11,8% dari total APBN tahun 2007 yang besarnya mencapai 763,6 Triliun. Sedangkan untuk APBN 2008, SBY-JK hanya menjanjikan anggaran pendidikan sebesar 12,3% dari total APBN. (SP/05/07/08).
Hal ini berarti, komitmen SBY-JK dalam sebuah Konferensi Regional UNESCO mengenai “Upaya Pemberantasan Buta Huruf Se-dunia” (Regional Conferences in Support of Global Literacy), di Beijing, China, beberapa waktu yang lalu adalah bohong besar. Berapa juta anak lagi yang akan menjadi korban kebohongan dan ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat miskin, jika anggaran pendidikan yang semestinya direalisasikan ternyata tidak terbukti di lapangan.
Menyadari persoalan itu, mana mungkin kita bisa memecahkan problem pendidikan yang akut, kalau kesempatan untuk mengakses pendidikan bagi semua orang (education for all), terutama untuk orang miskin justru dihambat dengan paket neoliberalisme di sektor pendidikan. Jika memang selama ini, Indonesia selalu mengacu pada konsep ”Pendidikan Untuk Semua” (education for all) yang dicetuskan di Jomtien, Bangkok, Thailand, pada 1990, pemerintah seharusnya bertindak lebih cepat agar pendidikan tak hanya menjadi milik orang-orang berduit.
Mana mungkin juga, kita bisa menciptakan generasi berkualitas dan unggul, jika anggaran untuk pendidikan sangat kecil, dan anggaran negara justru harus dihambur-hamburkan untuk kepentingan membayar utang luar negeri dan menerbitkan surat obligasi untuk melindungi konglomerat hitam seperti dalam kasus BLBI.
Seharusnya, dengan realisasi anggaran pendidikan 20%, rakyat miskin mungkin bisa menjangkau pendidikan secara layak, apalagi ditunjang dengan berbagai bantuan pemerintah, seperti dana BOS. Akan tetapi, persoalan efektifitas dan efesiensi menjadi kendala dalam mendistribusikan anggaran guna menjangkau anak didik.
Berbelit-belitnya anggaran pendidikan, tentu berimplikasi terhadap semakin menjamurnya anak miskin putus sekolah, sehingga menghambat regenerasi dan kaderisasi anak bangsa. Angka putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia empat tahun terakhir masih di atas 1 juta per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar (80%) adalah mereka yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP).
Di lihat secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 sampai 3 persen. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka yang sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolah di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang. (Sumber: Litbang Kompas).

Bukan ”Barang” Komoditi?

Pembiayaan pendidikan yang besar, tidak lebih sebagai ”barang” komoditi. Betapa tidak, pendidikan sebagai barang komoditi, meniscayakan warga membayar biaya pendidikan guna memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Dengan kata lain, pendidikan bagi warga miskin sangat sulit dijangkau, karena terlalu mahal dan mewah.
Pada titik inilah, benar apa yang dikatakan Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Prof. Soedijarto, bahwa konstitusi menyatakan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (walfare state) . Dalam artian, pemerintah Indonesia dibentuk guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Sejauhmana komitmen dan tanggung jawab pemerintah terhadap biaya pendidikan di Tanah Air? Soedijarto, meyakini semangat pendiri negara (the founding fathers) adalah meniru negara kesejahteraan di Eropa yang membiayai kebutuhan pendidikan. Dalam negara kesejahteraan tersebut, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar untuk menggratiskan biaya pendidikan dengan perencanaan dan pelaksanaan yang dinamis dan sistematis.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mungkin negara kita akan membiayai seluruh dana pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, kalau realisasi anggaran pendidikan yang dicanangkan 20% masih belum dirasakan masyarakat. Padahal, kalau kita mengacu pada Pasal 31 Ayat 3 konstitusi menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar. Adapun pemerintah wajib membiayainya.
Peliknya masalah anggaran pendidikan, sejatinya tergantung pada komitmen pemerintah dalam merealisasikan amanat Undang-Undang yang telah direkomendasikan. Jika pemerintah mempunyai komitmen untuk merealisasikan amanat tersebut, maka pencapaian anggaran pendidikan sebesar 20% bisa dioptimalisasikan. Dalam artian, bahwa komitmen menjadi pertaruhan pemerintah untuk menjamin setiap warga negara guna memperoleh pendidikan secara layak. Dengan komitmen tersebut, pemerintah boleh dikatakan berhasil dalam mengagendakan anggaran pendidikan tanpa mengabaikan hak-hak warga negara, sehingga mendapatkan perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang layak.
Dengan demikian, kunci utama pendidikan yang mudah dijangkau rakyat miskin adalah komitmen merealisasikan anggaran pendidikan 20% secara akuntabel, transparan, dan melalui monitoring yang ketat, sehingga tidak mengabaikan sektor pendidikan yang menjadi faktor kemajuan suatu bangsa di seluruh dunia.

Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Diterbitkan Galamedia Bandung, 5 April 2009

Senin, 20 April 2009

Deversifikasi Pangan, Peran Bulog, dan Revitalisasi Kaum Tani*


Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

(Mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)


Pendahuluan
Problem krisis pangan yang menimpa negara-negara berkembang merupakan bagian dari bencana kemanusiaan, yang pada gilirannya menjadi pemicu tingkat kesengsaraan dan kelaparan. Sebagai bencana kemanusiaan, krisis pangan terus menerus menghantui masyarakat di dunia. Bahkan, kemunculannya semakin membuat orang tak berdaya menghadapi sindrom kelaparan, sehingga tidak jarang kematian akibat menipisnya kebutuhan makanan pokok menjadi momok yang menakutkan.
Bencana kemanusiaan yang dihadapi kaum petani, tidak bisa lepas dari proses penyingkiran secara sistematik petani kecil sebagai produsen pangan. Proses peminggiran ini, merupakan akibat kekalahan petani kecil dan konsumen dalam perebutan kebijakan pangan yang memihak pada Perusahaan Transnasional (TNC) bidang Agribisnis.
Menurut Isabelle Delforge (2003), dalam "Dusta Industri Pangan", kekalahan petani kecil tersebut terjadi di berbagai sektor dan tingkatan. Sesungguhnya, bencana tersebut telah terjadi sejak peradaban manusia menerima keyakinan dan mitos bahwa "efficiency" sebagai satu-satunya prinsip dasar yang niscaya dipergunakan dalam pengelolaan lingkungan alam, ekonomi, dan hutan.
Apa yang dipaparkan Delforge di atas, secara tidak langsung telah menegaskan bahwa kaum tani selalu terpinggirkan akibat kebijakan-kebijakan yang menyudutkan, sehingga kaum tani semakin termarginalkan. Apalagi, ditambah dengan semakin gencarnya gerakan globalisasi dan liberalisasi perdagangan pangan yang dilandasakan pada kebijakan neoliberalisme. Maka, kesengsaraan petani pun akan terus menerus menjadi dilema bagi pembangunan nasional ke depan.


Kelaparan Akut: Sindrom Ketahanan Pangan
Dari cacatan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), jumlah penduduk bumi yang mengalami kelaparan akut pada tahun ini berkisar pada angka 40 juta orang. Dengan demikian, total penduduk dunia yang kelaparan menjadi 963 juta orang dari sekitar 6,5 miliar penduduk dunia saat ini. Sungguh angka yang sangat tinggi, namun inilah fakta yang harus kita terima akibat bencana kemanusiaan ini (krisis pangan). (Kompas, 10 Desember 2008).
Itulah sebabnya, Direktur Jendral FAO, Jacques Diouf, meluncurkan suatu laporan tahunan soal kerawanan pangan dunia yang menyebutkan bahwa krisis pangan banyak dialami keluarga miskin, mereka yang tak punya lahan, dan perempuan Ibu rumah tangga. Dalam laporan "State of Foods Insecurity in World 2008", Diouf menyerukan negara-negara kaya agar menginvestasikan 30 miliar dollar AS per tahun dalam pertanian.
Meskipun produksi pangan dunia meningkat, melebihi pertumbuhan penduduk, namun kelaparan tetap saja terjadi. Ini terjadi bukan karena kelangkaan pangan, melainkan akibat kebijakan neoliberal bidang pangan di tingkat Internasional yang mengingkari kedaulatan dan hak dasar petani. Dulu, kita percaya bahwa pangan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Gizi pangan yang memadai merupakan hak dasar dan esensial bagi kehidupan, seperti dapat dilihat dalam Deklarasi HAM PBB "The UN Declaration of Human Right dan The UN Covenant on Economic, Social and Cultural Rights".
Menyikapi persoalan demikian, maka peran Bulog harus benar-benar dioptimalkan, agar ketahanan pangan kita bisa dikendalikan. Sebagai lembaga pangan, Bulog menjadi bekal bagi kemandirian pangan kita yang terkesan dikendalikan oleh pihak asing, sehingga eksistensi Bulog yang berubah menjadi lembaga Perum, khususnya BUMN, harus segera melakukan langkah-langkah inovatif untuk mengendalikan krisis pangan dan kelaparan akut.


Perubahan Dinamika Bulog dan Kesejahteraan Kaum Tani
Sebagai lembaga pangan, dinamika perubahan Bulog begitu sangat fundamental bagi eksistensi ketahanan pangan kita. Betapa tidak, sejak berganti nama menjadi BUMN, Bulog diharapkan mampu menopang keberlanjutan swasembada pangan, khususnya beras dalam mendorong kesejahteraan kaum petani. Itulah sebabnya, Bulog menjadi salah satu modal ekonomi yang paling menjanjikan untuk tetap mempertahankan stabilitas harga beras dan produksi lainnya.
Dalam konteks ini, setidak-tidaknya ada empat tugas publik yang tetap akan diemban oleh Bulog. Pertama, jaminan Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk Gabah (HDPP). Kedua, stabilisasi harga di pasar. Ketiga, konsistensi raskin bagi kaum pinggiran. Raskin adalah program perlindungan sosial (social protection program) yang ditujukan buat rumah tangga miskin (targeted food subsidy), umumnya mereka yang beresiko tinggi terhadap food insecurity. Keempat, sebagai cadangan atau stok pangan nasional.
Kendati demikian, perkembangan Bulog mengalami banyak perubahan. Awalnya, lembaga ini yang dibentuk pada 1967 berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet, dengan tugas pokok untuk menyediakan pangan untuk memperkuat Pemerintah Orde Baru. Kemudian dirubah pada 1978, untuk mendukung pembangunan pangan multi-komoditas. Pada 1993, waktu Kepala Bulog dirangkap oleh Menteri Negara Urusan Pangan, tanggung jawab Bulog diperluas, yaitu sebagai koordinator pembangunan pangan dan peningkatan mutu gizi. Ketika Bulog mengalami perubahan, maka kita perlu mengkritisinya dengan mencari faktor pendorong perubahan tersebut.
Pertama, perubahan kebijakan pangan Pemerintah dan perubahan mandat Bulog sehingga hanya diperbolehkan menangani komoditas beras, penghapusan monopoli impor atau hak-hak khusus impor sebagai STE (state trading enterprise). Hal ini menjadi penting, mengingat dinamika perubahan yang terjadi dalam lembaga Bulog sangat menentukan terhadap ketahanan pangan nasional.
Kedua, berlakunya berbagai UU baru, khususnya UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli, dan UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah. Sejumlah ahli berpendapat bahwa stok pangan nasional harus dilaksanakan secara terpusat, dan pangan harus dipakai sebagai sarana perekat nasional. Menurut hemat saya, sentralisasi pangan yang demikian, dapat memberikan jaminan ideal bagi masyarakat, karena ditangani oleh Badan Hukum Milik Negara (BUMN).
Ketiga, perubahan ekonomi global khususnya adanya WTO, serta pengaruh lembaga Internasional khususnya IMF sebagai prasyarat tentang Bulog dalam LOI (letter of inted) yang dibuat sejak 1997 sampai dengan 2000. WTO mengharuskan penghapusan berbagai hambatan perdagangan. Semua bentuk NTB (Non-Tariff Barrier) seperti monopoli, larangan perdagangan, dirubah menjadi TB (Tariff Barrier), serta perlunya membuka pasar dalam negeri. (Joan Hajono, 1993).
Perubahan kelembagaan Bulog, bagi saya, menjadi momentum awal bagi kaum tani untuk tetap mempertahankan produktifitas beras. Itulah sebabnya, saya berkeyakinan bahwa ide tentang perubahan Bulog ini dapat membantu kesejahteraan kaum tani yang terlunta-linta akibat harga beras yang tidak stabil. Maka, sebagai lembaga pangan, Bulog mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk terus memantau perkembangan harga beras dunia, agar pemberdayaan terhadap kaum tani dapat direalisasikan.


Deversifikasi Pangan: Harapan Bulog Masa Depan
Dari sekian komoditas yang menjadi fokus ketahanan pangan, peningkatan produksi beras merupakan prioritas utama yang perlu dikembangkan. Maka, rencana pemerintah untuk mengembangkan deversifikasi pangan sangat relevan bila dioptimalkan. Deversifikasi pangan di sini, bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras.
Menurut Deputi Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurti, konsumsi beras masyarakat Indonesia relatif sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain. Bahkan, Indonesia menempati urutan tertinggi sebagai negara yang mengkonsumsi beras. Maka tidak berlebihan, kalau deversifikasi pangan dalam konteks peningkatan produksi beras menjadi sebuah keniscayaan. (Kompas, 23/ 12/ 08).
Konsep ketahanan pangan sangat berbeda dengan konsep kedaulatan pangan. Menurut Albert Howard (1999), kedaulatan pangan adalah hak tiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses, mengontrol aneka sumberdaya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, dan konsumsi) pangan sendiri sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing-masing.
Berdasarkan konsep kedaulatan pangan di atas, maka untuk dapat mencapai kedaulatan pangan salah satu cara yang dipakai adalah dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal, yaitu diversifikasi pangan. Dengan adanya diversifikasi pangan, maka kita tidak akan lagi tergantung pada beras.
Oleh sebab itulah, perlu diadakan kajian yang mendalam tentang feasibilitas dalam mewujudkan diversifikasi pangan, yaitu mencakup telaah tentang orientasi kebijakan pangan pemerintah beserta political will pemerintah, budaya masyarakat terhadap beras (mentality rice), kandungan gizi dari bahan pangan lain pengganti beras, serta berbagai hambatan dalam penerapan diversifikasi.
Penutup
Pada titik inilah, deversifikasi pangan menjadi harapan bagi masa depan Bulog, agar tetap eksis dalam menjaga perkembangan harga dan ketahanan pangan nasional. Sebagai bagian dari masyarakat, saya mempunyai harapan bahwa Bulog nantinya bisa menjadi sentum ekonomi bangsa, khususnya masalah ketahanan pangan yang sangat vital bagi eksistensi kaum tani di masa depan.
Berangkat dari fungsi dan peranan Perum Bulog yang strategis dan signifikan di masa mendatang, maka BUMN selaku pemegang saham merasa perlu untuk melakukan leadership reform di jajaran dewan pengawas dan direksi Perum Bulog. (Antara, 21/ 03 /07). Kebijakan tersebut ditempuh sebagai langkah antisipatif agar kinerja Perum Bulog tidak terganggu dan dapat terus menjalankan fungsinya mengamankan stok beras nasional sebagai bagian dari ketahanan pangan nasional secara keseluruhan.

*Tulisan ini meraih juara I Lomba esai tingkat Nasional yang dilaksanakan oleh PERUM BULOG NASIONAL

Kontroversi UN dan Masa Depan Pendidikan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Harus diakui, bahwa kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan. Hal ini tidak lepas dari berbagai persoalan yang menjadi penghambat peningkatan kualitas pendidikan kita ke arah yang lebih progresif, sehingga idealisme untuk mencapai pendidikan berkualitas masih belum teraktualisasi.
Masalah-masalah mendasar, seperti pemerataan pendidikan, kesejahteraan guru, perbaikan gedung sekolah, pembiayaan pendidikan merupakan problem yang selalu menyita perhatian banyak pihak, ketimbang substansi dari peningkatan kualitas pendidikan. Problem tersebut, setidaknya akan memberikan implikasi negatif terhadap masa depan pendidikan nasional.
Apalagi tingkat mutu pendidikan nasional berada pada posisi yang sangat rendah. Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita yang telah menunjukkan peningkatan signifikan dan perubahan mendasar dari kualitas pendidikannya, semisal Malaysia, Singapura, Filipina dan negara tetangga yang lain.
Dunia pendidikan kita memang tidak pernah lepas dari berbagai problema, termasuk persoalan UN yang selalu memunculkan kontroversi di kalangan pendidik, praktisi, orang tua dan juga siswa sendiri. Setiap tahun polemik UN menyita banyak energi dan perhatian. Pertanyaan yang harus dijawab secara mendasar, mau dibawa ke mana pendidikan kita dewasa ini?
Secara latah praktik UN mencoba mengadopsi secara sepihak tuntutan modernisasi, namun lupa membangun etika budaya sebagai manusia yang cinta bangsa dan tanah air. Jika anak didik hanya memperdalam matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris -karena mata ajaran itu yang diujikan dalam ujian nasional-, maka tidak ada keseriusan anak didik mempelajari pendidikan moral, agama, budi pekerti, sejarah, nilai-nilai kemanusiaan dan kejuangan karena tidak pernah akan diujikan dan menentukan kelulusan.
Terhadap UN misalnya, pemerintah selalu mengatakan penyelenggaraan model itu sudah mengadopsi negara-negara maju. Yang dilupakan, di negara-negara tetangga kita pendidikan menyebar cukup merata sehingga standarisasi yang bersifat nasional mudah diterapkan. Bandingkan dengan Indonesia, sarana-prasarana, guru, laboratorium, pelaksanaan kurikulum, SDM guru masih timpang. Meski anak Jakarta belajar di ruang-ruang berpendingin, banyak anak daerah bersekolah di sekolah tanpa dinding, tanpa atap, dan akses informasi amat terbatas. Pendidikan kita yang belum merata tidak layak dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Kebingungan
Penyelenggaran UN dalam dunia pendidikan, memang menyisahkan kebingungan bagi pihak yang berkompeten dengan kemajuan pendidikan, termasuk orang tua, anak didik, guru, praktisi pendidikan, dan masyarakat secara umum. Kebingungan di sini, tidak lepas dari munculnya dilema antara harapan dan kekhawatiran.
Pada satu sisi, UN merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan anak didik dalam mengikuti mata pelajaran. Dengan kata lain, UN menjadi penilaian terakhir yang sangat mendebarkan, apakah anak didik lulus atau tidak? Namun di sisi lain, UN mejadi dilema bagi anak didik, karena penentu kelulusan belajar hanya ditentukan dalam satu hari. Jika anak didik tidak lulus ketika mengikuti UN, maka secara otomatis, ia harus mengulang untuk satu tahun ke depan.
Dilema UN tidak saja mengkhawatirkan bagi anak didik yang terlibat langsung, melainkan juga dirasakan oleh pihak orang tua dan para guru yang tidak setuju UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan. Padahal, aspek penilaian keberhasilan anak didik memiliki banyak variasi dan dinilai dari berbagai aspek. Salah satunya adalah penekanan pada aspek psikomotorik dan afektif.
Pada titik inilah, UN menjadi bumerang dalam dunia pendidikan. Betapa tidak, pelaksanaan UN tidak semulus apa yang kita bayangkan, karena selalu menghadirkan perdebatan dan kontroversi yang beragam. Munculnya perdebatan dan kontrovorsi seputar perlu tidaknya UN dilaksanakan, menunjukkan bahwa masyarakat tidak siap UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan.

Bukan Cermin Kualitas Pendidikan
Kita tahu, passing grade UN tahun ini mencapai 5, 25. Angka ini, bagi anak didik yang tidak memiliki kognisi tinggi, tentu sangat mengkhawatirkan. Ini karena, untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam belajar, sehingga bisa melewati UN dengan baik.
Berbeda dengan anak didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tentu, UN bukan merupakan penghalang dan penghambat dalam mencapai kesuksesan belajar. Selain didukung oleh mental yang siap, mereka juga memiliki kecerdasan kognitif yang mumpuni untuk nenghadapi UN dengan tenang.
Pertanyaannya sekarang, apakah UN merupakan indikator kualitas pendidikan? Menurut hemat saya, UN bukan merupakan cermin kualitas pendidikan. Karena disadari, cermin kualitas pendidikan tidak ditentukan dengan penilaian subjektif, seperti UN. Penilaian subjektif di sini adalah penilaian yang tidak memperhatikan aspek penilaian lain yang lebih penting dengan hanya memfokuskan pada penilaian kognitif semata. Padahal, penilaian kognitif merupakan penilaian yang mengabaikan aspek kreativitas dan tingkah laku anak didik. Seharusnya, UN tidak hanya bertumpu pada penilaian kognitif, melainkan harus diintegrasikan dengan penilaian psikomotorik dan afektif.
Ketika UN menjadi penentu kelulusan anak didik, maka ketekunan belajar harus menjadi prioritas utama. Ketekunan anak didik, akan sangat berarti untuk menghadapi UN yang kompetitif dan ketat. Apalagi, UN merupakan penilaian secara umum yang dilaksanakan pemerintah dan mendiknas.
Dengan penilain yang integratif ini, pelaksanaan UN akan semakin bermutu dan jaminan atas kualitas pendidikan juga akan sangat menentukan. Pada titik inilah, UN tidak saja akan menentukan, namun juga menjadi indikator keberhasilan anak didik untuk menggapai masa depan yang gemilang.

Mohammad Takdir Ilahi,
(Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Diposting dari Galamedia Bandung, 6 April 2009